Jumat, 11 Mei 2012

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI

MUHSINUN Share:


PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Oleh: Muhsinun

I. PENDAHULUAN
Bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari hari ke hari semakin berkembang, akhir-akhir ini kita melihat banyak generasi Islam yang sudah tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka kadang meremehkan dengan mengatakan, ”Di mana tokoh Islam”? Hal ini terjadi karena mereka kurang mengenal terhadap beberapa tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebat dengan tokoh pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak al-karimah, disiplin, terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.
Dengan berpandangan pada beberapa hal tersebut, mengenal para tokoh pendidikan Islam merupakan salah satu langkah yang seharusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan harus menjadi kebanggaan untuk selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta mensosialisasikan dikalangan umum. Dengan begitu generasi penerus Islam bisa berbangga hati bahwa mereka mempuyai tokoh yang pantas untuk dijunjung tinggi sebagai pelita penerang yang melahirkan konsep, teori, dan fatwa yang dijadiakn referensi generasi berikutnya dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini, pembahasan makalah ini di dalamnya akan membahas siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang  mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs (latihan pribadi umum) dan Riyadhatus Shibyan (latihan pekerti anak-anak).
 



Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini dunia pendidikan kurang memperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah di muka bumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “Al-Ghazali”.

II. PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem.[2]  Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.[3]
Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanya di bidang tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.[5] Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi dari pada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[6]
B. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
a. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia darinya.[8]
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan takarrub (mendekatkan diri) kepada Allah[9] bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi. Rumusan tujuan pendidikan Al-Ghazali didasarkan pada firman Allah SWT. ”Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku” (QS. Al-Dzariyat:56).
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah; dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena itu, ia bercita- cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari tujuan itu.[10] Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan pendidikan.[11]
Mengingat pendidikan itu penting bagi manusia, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1.      Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
2.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3.      Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4.      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5.      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[12]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang.
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a)      Ilmu tercela, yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan Allah SWT.
b)      Ilmu terpuji, misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c)      Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a)      Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu agama.
b)      Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.[13]
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a)      Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
b)      Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah.[14]
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[15] Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[16] Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1). Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2). Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Konsep Al Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak  Anak

Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak pada anak-anak ini diterangkan dalam kitab Ihya Ulumuddin juz III halaman 69-72. Pertama-tama Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah  swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tuanya, gurunya serta pendidikannyapun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya.[17]
Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali  yang halal saja.[18] Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (tamyiz) mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk (asosiasi nilai).
Sedangkan metode yang digunakan sama dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Namun titik berat pada kedua metode itu berbeda. Pada orang dewasa membiasakan diri merupakan metode dasar mencapai akhlak yang baik dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar ketimbang pergaulan tetapi dalam kasus anak-anak sebaliknya, melindungi mereka dari pergaulan buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk berakhlak yang baik. Hal ini karena sebagian besar pengajaran untuk mereka adalah peniruan. Pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada kanak-kanak. Karena akal mereka belum bisa memikirkan hal seperti itu. Hadiah dan hukuman dari orang tua dan pujian serta cercaan dari orang lainlah yang harus dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka jadi baik dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk.[19] 
Adapun pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1.    Akhlak Terhadap Allah
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan.[20]
Al-Ghazali sangat menganjurkan sejak dini orang tua membiasakan anak-anaknya untuk beribadah, seperti shalat, berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar (motivasi eksternal) tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya (motivasi internal) dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan pada waktu dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan.[21]
Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari’at yang diperlukan.
2.    Akhlak Terhadap Orang Tua
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua daripadanya. Dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau dihadapan mereka.[22] Setelah menekankan pentingnya menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Al-Ghazali juga menjelaskan perlunya menerapkan hukuman dan hadiah, mengenai hal ini Al-Ghazali berkata:
“Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga  ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujukan padanya.[23]
Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk.[24]
3.   Akhlak K­epada Diri Sendiri
a. Adab Makan                            
Menurut Al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan pandangan ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan dengan baik, tidak memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan, hendaklah ia kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya lauk sebagai suatu keharusan.[25]
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah dengan contoh, latihan dan pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping itu, Al-Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan sekedar teguran dan  pujian, sebagaimana dikatakannya:
“Hendaklah diajarkan kepadanya bahwa makan terlalu banyak adalah suatu perbuatan yang tidak baik dan hanya bagi hewan-hewan. Dan hendaklah ditujukan kecaman dihadapannya kepada anak yang banyak makannya. Dan sebaliknya, diberikan pujian kepada anak yang sopan dan sedikit makannya. Dan hendaklah memuaskan diri dengan makanan apa saja yang tersedia baginya betapapun sederhananya.”[26]

b. Adab Berpakaian                                             
Al-Ghazali menegaskan bahwa anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih saja, bukan yang berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan perempuan (banci) dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakannya si ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan, bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan.[27]
Dengan demikian jelaslah, bahwa orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar kesenangan, kemewahan dan pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya kurang memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu, Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu:
“Hendaklah anak-anak sejak kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya. Dan agar ditanamkan  rasa takut dari keduanya melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada emas dan perak lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang dewasa.”[28]
c. Kesederhanaan Tidur
Al-Ghazali menegaskan sebaiknya anak-anak dilarang untuk tidur pada waktu siang, karena menyebabkan kemalasan. Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari. Namun sebaiknya jangan dibiasakan tidur di atas kasur yang empuk-empuk, supaya tubuhnya menjadi kuat.[29] Kebiasaan tidur siang pada anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi anak-anak adalah untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan digunakan untuk belajar atau berlatih kerja.
d. Sabar dan Berani          
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak berteriak-teriak dan tidak meminta pertolongan kepada orang lain, agar diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang jantan dan berani, sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.[30] Jadi anak-anak dididik untuk sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan pemberani.
Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang baik, Al-Ghazali juga menganjurkan agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam, antara lain:
e. Adab Berjalan
Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua tangan kebawah, tetapi diletakkan kedua tangan itu pada dada.[31]
f.  Larangan Bersumpah
Al-Ghazali berkata bahwa anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar maupun bohong.[32] Membiasakan anak-anak untuk tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak mudah bersumpah dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut.
g. Larangan Mencuri
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak haruslah diajarkan untuk tidak sekali-kali mengambil barang yang bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari keluarga yang terhormat, diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya mengambil sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi ssesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat yang menghinakan dan tidak terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya.[33]
Dengan demikian Al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima, apalagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya (mencuri). Hal iini apabila dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang suka membantu dan menolong orang lain.
g. Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak harus dijaga agar tidak melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat.[34]
Adanya larangan untuk melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara sembunyi-sembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya.
h. larangan membuka aurat
Menurut al-Ghazali, anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain.[35]
4. Akhlak Kepada Orang Lain
Al-Ghazali memberikan beberapa nasihat agar para orang tua membiasakan anaknya untuk berbuat hal-hal yang patut dan sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku, sebaliknya menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat Al-Ghazali itu antara lain:
a.    Adab Duduk
Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki yang sebelahnya lagi. Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah dagu (topang dagu) dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang demikian itu menandakan kemalasan.[36] Maksud dari nasihat Al-Ghazali tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga menghindarkan sikap malas pada anak-anak.
b.    Adab Duduk Bersama Orang Lain
Al-Ghazali menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak meludah pada tempat yang bukan semestinya, tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang lain.[37] Dengan demikian jelaslah bahwa di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, Al-Ghazali juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan. Selain itu, Al-Ghazali juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya:
“Dan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekedar memberikan jawaban secukupnya. Dan diajarkan kepada mereka agar pandai-p[andai mendengarkan orang lain apabila ia berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk, setelah itu duduk dengan sopan dihadapannya.”[38]
c.    Adab Berbicara
Al-Ghazali berkata: anak-anak dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat demikian karena tidak dapat dibantah bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat.[39]
d.    Tawadhu’
Menurut Al-Ghazali seorang anak hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, tentang makanan, pakaian atau peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu’ dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia, dan berkata lemah lembut.[40]
Dengan demikian jelaslah bahwa segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Kemudian tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah kata hati (kerohanian yang luhur) pada anak pada masa dewasanya.[41]
Jadi pembinaan pribadi anak adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang disatupadukan, sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam.

D. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saatsekarang ini  masih bisa kita simak.[42] 
III. PENUTUP
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan pendidikan Islam dalam pandangan Al-Ghazali hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun tujuan utama dari penggunaan metode dalam pendidikan harus diselaraskan dengan tingkat usia, kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari nilai manfaat.
Tentang pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan contoh bagi anak didiknya.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Akhyar Thawil Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993
Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali (Terj. Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV,
............., Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Dasoeki,Thawil Akhyar Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Jalaluddin & Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1994.
Nasution Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Nata Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Qadir C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Rusn Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Sulaiman Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991.






[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Ibid, hlm. 181.
[6] arun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.

[7]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[8] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hal.159.
[9]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, (Jakarta: Guna Aksara. 1986), hal. 19.
[10]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994), hal. 102.
[11]Ibid

[12]Ibid, hlm. 94.
[13]Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991. hlm. 56

[14]Ibid
[15]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[16] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[17]Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali (Terj. Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV, hal. 193
[18]Ibid
[19]M. Abul Quasem, Op.Cit.., hal. 102-103
[20]Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 197
[21]Zaenuddin, Op.Cit, hal. 166
[22]Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 19
[23]Ibid, hal. 195
[24]Ibid
[25]Ibid, hal. 194
[26]Ibid
[27]Ibid
[28]Ibid, hal. 196
[29]Ibid, hal. 195-196
[30]Ibid, hal. 197
[31]Al-Ghazali , Op. Cit, hal. 196
[32]Ibid
[33]Ibid
[34]Ibid
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid
[38]Ibid
[39]Ibid
[40]Ibid
[41]Ibid, hal. 197-198
[42]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993, hlm. 55-62.
Published by MUHSINUN

Nulla sagittis convallis arcu. Sed sed nunc. Curabitur consequat. Quisque metus enim venenatis fermentum mollis. Duis vulputate elit in elit. Si vous n'avez pas eu la chance de prendre dans tous.
Follow us Google+.

2
replies
  1. Assalamu'alaikum, Pak Muhsinun, Upload File-File Kuliahnya ya, biar kami buka dan baca di UNMURA.

    BalasHapus

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Untuk Perbaikan Blog Ini

Get Updates in your Email
Complete the form below, and we'll send you our best of articles.

Deliver via FeedBurner

Text Widget

Recent News

Contact

Published By Pro Templates Lab | Powered By Blogger
TOP