PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Oleh: Muhsinun
I.
PENDAHULUAN
Bersamaan
dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari
hari ke hari semakin berkembang, akhir-akhir ini kita melihat banyak generasi
Islam yang sudah tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh
terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka kadang meremehkan dengan mengatakan,
”Di mana tokoh Islam”? Hal ini terjadi karena mereka kurang mengenal terhadap
beberapa tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebat
dengan tokoh pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak
al-karimah, disiplin, terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan agama,
nusa, dan bangsa.
Dengan
berpandangan pada beberapa hal tersebut, mengenal para tokoh pendidikan Islam
merupakan salah satu langkah yang seharusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan
harus menjadi kebanggaan untuk selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta
mensosialisasikan dikalangan umum. Dengan begitu generasi penerus Islam bisa
berbangga hati bahwa mereka mempuyai tokoh yang pantas untuk dijunjung tinggi
sebagai pelita penerang yang melahirkan konsep, teori, dan fatwa yang dijadiakn
referensi generasi berikutnya dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini, pembahasan makalah ini di dalamnya akan membahas siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs (latihan pribadi umum) dan Riyadhatus Shibyan (latihan pekerti anak-anak).
Pendidikan
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan
seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini dunia pendidikan
kurang memperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini
kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan
tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga
pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak
untuk menjadi khalifah di muka bumi melainkan manusia yang individualis,
materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat
menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat
sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita,
yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “Al-Ghazali”.
II. PEMBAHASAN
A. Sekilas
Tentang Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa
Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang
pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin),
samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan
perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai
serangan.[1]
Al-Ghazali
adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam
satu sistem.[2] Ia
belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi Ahmad bin Muhammad
Ar-Raziqani di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu
agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din
al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya
adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun
478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad
untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia
meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun
1111 M.[3]
Faham yang
dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanya di bidang tasawuf
tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah
mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada,
ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ
و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ
الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang
didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat
Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan
mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir
orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan
kata-kata itu.[5] Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya
dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali
bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah
baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia
yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan
ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang
sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan
lebih tinggi dari pada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[6]
B. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu
sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai
ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang
dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Oleh karena
itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak
masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7] Maka sistem pendidikan itu haruslah
mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
a. Tujuan Pendidikan menurut
Al-Ghazali
Seorang
guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar
filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali
dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui
pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena
itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran
yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak
bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi,
di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan
mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan
filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran
pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu.
Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah
SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi
beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan
yang diperoleh manusia darinya.[8]
Tujuan
pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan
dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan takarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah[9]
bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
duniawi. Rumusan tujuan pendidikan Al-Ghazali didasarkan pada firman Allah SWT.
”Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku”
(QS. Al-Dzariyat:56).
Dari
hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan
akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: pertama,
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah; dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Karena itu, ia bercita- cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud
dari tujuan itu.[10]
Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan
akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai
sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan
pendidikan.[11]
Mengingat
pendidikan itu penting bagi manusia, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang
tujuan pendidikan, yaitu :
1.
Mendekatkan diri kepada Allah, yang
wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan
sunah.
2.
Menggali dan mengembangkan potensi
atau fitrah manusia.
3.
Mewujudkan profesionalitas manusia
untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4.
Membentuk manusia yang berakhlak
mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5.
Mengembangkan sifat-sifat manusia
yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak
dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa
pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam
prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran
manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal
pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang
menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut
sebagai subyek pendidikan.[12]
Oleh karena
itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai
tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga
akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai
murid.
b. Kurikulum Pendidikan menurut
Al-Ghazali
Kurikulum
yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang
diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap
kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang
dibaginya dalam beberapa sudut pandang.
Al-Ghazali
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Ilmu tercela, yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia
maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu
ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain
dan akan meragukan keberadaan Allah SWT.
b) Ilmu terpuji, misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini
dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan
keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c) Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena
dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari
ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang
dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a) Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim,
yaitu ilmu agama.
b) Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu
pertanian dan industri.[13]
Dalam
menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada
ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang
sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikilum
menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a) Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat
Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya
sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan
dunia.
b) Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya
tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia
menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang
tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan
kegunaannya dalam bentuk amaliah.[14]
Manusia
adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia,
maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum
pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada
murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti,
memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai
pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[15] Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan
metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode
khusus pendidikan agama
Menurut
al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan
dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode
khusus pendidikan ahklak
Akhlak
menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang
melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih
dahulu.[16] Dengan adanya metode tersebut, maka
al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan
akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam
pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan
itu ada 2 yaitu :
1). Kesempurnaan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2).
Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Konsep Al Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Anak
Pemikiran Al-Ghazali tentang
pendidikan akhlak pada anak-anak ini diterangkan dalam kitab Ihya Ulumuddin
juz III halaman 69-72. Pertama-tama Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk
melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak
yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang
diberikan oleh Allah swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah
bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia
menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan
melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa
dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan
kedua orang tuanya, gurunya serta pendidikannyapun ikut pula menerima pahala
yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk
atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya
ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya,
walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya.[17]
Oleh karena seorang anak siap
menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai
sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek
dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan
ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja.[18] Kemudian pada saat kemampuan
membedakan antara yang baik dan buruk (tamyiz) mulai muncul dalam diri
anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia
mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan
kepada hal-hal yang memang buruk (asosiasi nilai).
Sedangkan metode yang digunakan
sama dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Namun titik berat pada
kedua metode itu berbeda. Pada orang dewasa membiasakan diri merupakan metode
dasar mencapai akhlak yang baik dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar
ketimbang pergaulan tetapi dalam kasus anak-anak sebaliknya, melindungi mereka
dari pergaulan buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk
berakhlak yang baik. Hal ini karena sebagian besar pengajaran untuk mereka
adalah peniruan. Pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik
dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada kanak-kanak.
Karena akal mereka belum bisa memikirkan hal seperti itu. Hadiah dan hukuman
dari orang tua dan pujian serta cercaan dari orang lainlah yang harus
dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka jadi baik dan mencegah mereka
dari perbuatan yang buruk.[19]
Adapun pemikiran Al-Ghazali
tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1.
Akhlak Terhadap Allah
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan
meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa
hari di bulan Ramadhan.[20]
Al-Ghazali sangat menganjurkan
sejak dini orang tua membiasakan anak-anaknya untuk beribadah, seperti shalat,
berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara
berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan
sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar
(motivasi eksternal) tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya (motivasi
internal) dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat
mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya
sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata
lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan pada waktu
dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam
kehidupan.[21]
Selain itu, Al-Ghazali juga
menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari’at
yang diperlukan.
2.
Akhlak Terhadap Orang Tua
Al-Ghazali menegaskan bahwa
seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya,
gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia
menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua daripadanya. Dan agar ia
senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau dihadapan
mereka.[22] Setelah menekankan pentingnya
menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Al-Ghazali juga menjelaskan
perlunya menerapkan hukuman dan hadiah, mengenai hal ini Al-Ghazali berkata:
“Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji,
hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu
saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita
berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak
berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan
kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun.
Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia
ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari
perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang
sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat.
Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu
sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih
buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar
kecaman-kecaman yang ditujukan padanya.”[23]
Di samping itu Al-Ghazali juga
menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara
kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada
waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya
dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk.[24]
3. Akhlak
Kepada Diri Sendiri
a. Adab Makan
Menurut Al-Ghazali sifat yang
mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena
itu, hendaklah ia diajarkan tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus
diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan
tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak
memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan pandangan ke arah
makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan
dengan baik, tidak memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan
sebelumnya, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan, hendaklah ia
kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya
lauk sebagai suatu keharusan.[25]
Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah
dengan contoh, latihan dan pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang
lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping
itu, Al-Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak
nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan sekedar
teguran dan pujian, sebagaimana dikatakannya:
“Hendaklah diajarkan kepadanya
bahwa makan terlalu banyak adalah suatu perbuatan yang tidak baik dan hanya
bagi hewan-hewan. Dan hendaklah ditujukan kecaman dihadapannya kepada anak yang
banyak makannya. Dan sebaliknya, diberikan pujian kepada anak yang sopan dan
sedikit makannya. Dan hendaklah memuaskan diri dengan makanan apa saja yang
tersedia baginya betapapun sederhananya.”[26]
b. Adab
Berpakaian
Al-Ghazali menegaskan bahwa
anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih
saja, bukan yang berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu
hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan
perempuan (banci) dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya.
Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang
anak laki-laki mengenakannya si ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang
demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak
yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga
melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan,
bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan.[27]
Dengan demikian jelaslah, bahwa
orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar
kesenangan, kemewahan dan pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal
itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya
kurang memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu,
Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu:
“Hendaklah anak-anak sejak
kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta
ketamakan untuk memilikinya. Dan agar ditanamkan rasa takut dari keduanya
melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada
emas dan perak lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun
orang dewasa.”[28]
c. Kesederhanaan Tidur
Al-Ghazali menegaskan sebaiknya
anak-anak dilarang untuk tidur pada waktu siang, karena menyebabkan kemalasan.
Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari. Namun sebaiknya jangan
dibiasakan tidur di atas kasur yang empuk-empuk, supaya tubuhnya menjadi kuat.[29] Kebiasaan tidur siang pada
anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi
anak-anak adalah untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan
digunakan untuk belajar atau berlatih kerja.
d. Sabar dan
Berani
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak
berteriak-teriak dan tidak meminta pertolongan kepada orang lain, agar
diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena
begitulah sikap orang-orang jantan dan berani, sedangkan menangis dan
berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.[30] Jadi anak-anak dididik untuk
sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi
yang sabar dan pemberani.
Selain mendidik akhlak anak-anak
dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang baik, Al-Ghazali juga menganjurkan
agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari
perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau
ajaran agama Islam, antara lain:
e. Adab Berjalan
Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak
hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua
tangan kebawah, tetapi diletakkan kedua tangan itu pada dada.[31]
f. Larangan Bersumpah
Al-Ghazali berkata bahwa
anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar
maupun bohong.[32] Membiasakan anak-anak untuk
tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak mudah bersumpah
dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut.
g. Larangan Mencuri
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
seorang anak haruslah diajarkan untuk tidak sekali-kali mengambil barang yang
bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari
keluarga yang terhormat, diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang
dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya
mengambil sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan
busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah diyakinkan
kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau
diberi ssesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat yang menghinakan dan tidak
terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku anjing, yang menggerak-gerakkan
ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya.[33]
Dengan demikian Al-Ghazali
menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima,
apalagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya (mencuri). Hal iini apabila
dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang
suka membantu dan menolong orang lain.
g. Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi
Al-Ghazali menegaskan bahwa
seorang anak harus dijaga agar tidak melakukan perbuatan secara
sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan
sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia
dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat.[34]
Adanya larangan untuk melakukan
perbuatan secara sembunyi-sembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang
telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara
sembunyi-sembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang
tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya.
h. larangan membuka aurat
Menurut al-Ghazali, anak-anak
hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain.[35]
4. Akhlak Kepada Orang Lain
Al-Ghazali memberikan beberapa
nasihat agar para orang tua membiasakan anaknya untuk berbuat hal-hal yang
patut dan sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku, sebaliknya
menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat
Al-Ghazali itu antara lain:
a. Adab Duduk
Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak
diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki
yang sebelahnya lagi. Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah
dagu (topang dagu) dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang
demikian itu menandakan kemalasan.[36] Maksud dari nasihat Al-Ghazali
tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga
menghindarkan sikap malas pada anak-anak.
b. Adab Duduk Bersama Orang Lain
Al-Ghazali menegaskan hendaklah
anak-anak dibiasakan untuk tidak meludah pada tempat yang bukan semestinya,
tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi
orang lain.[37] Dengan demikian jelaslah bahwa
di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, Al-Ghazali juga mengajarkan
untuk menjaga kebersihan. Selain itu, Al-Ghazali juga mengajarkan untuk
menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya:
“Dan hendaklah anak-anak
dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, dan sekedar memberikan jawaban secukupnya. Dan
diajarkan kepada mereka agar pandai-p[andai mendengarkan orang lain apabila ia
berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk
menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk,
setelah itu duduk dengan sopan dihadapannya.”[38]
c. Adab Berbicara
Al-Ghazali berkata: anak-anak
dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan
orang yang lidahnya selalu berbuat demikian karena tidak dapat dibantah bahwa
yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat.[39]
d. Tawadhu’
Menurut Al-Ghazali seorang anak
hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan
sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, tentang makanan, pakaian atau
peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu’ dan memuliakan
setiap orang yang bergaul dengan dia, dan berkata lemah lembut.[40]
Dengan demikian jelaslah bahwa
segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan,
anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai
dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan,
kesusilaan dan keagamaan. Kemudian tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan,
pendirian, keyakinan dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang
bertanggung jawab akhirnya terbentuklah kata hati (kerohanian yang luhur) pada
anak pada masa dewasanya.[41]
Jadi pembinaan pribadi anak
adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan
keagamaan yang disatupadukan, sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan
kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
D. Karya-Karya
al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah
karya-karya al-Ghazali yang saatsekarang ini masih bisa kita simak.[42]
III. PENUTUP
Menurut
Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan
antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Tentang
kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran beserta
kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat
bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri
kepada Allah.
Tujuan
pendidikan Islam dalam pandangan Al-Ghazali hanyalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Adapun tujuan utama dari penggunaan metode dalam pendidikan harus
diselaraskan dengan tingkat usia, kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan
tujuannya tidak lepas dari nilai manfaat.
Tentang
pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki
norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan contoh
bagi anak didiknya.
Dalam
kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan
hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya.
Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok
dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Akhyar Thawil Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina
Utama, Semarang, cet-1, 1993
Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali (Terj.
Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV,
.............,
Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Dasoeki,Thawil
Akhyar Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1,
1993.
Hamka,
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet
XI, 1984.
Jalaluddin & Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep
dan Perkembangan Pemikiran,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1994.
Nasution Harun,
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta,
1979.
Nata Abudin,
Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers,
Jakarta, 1993.
Qadir C.A., Filsafat
dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Rusn Abidin
Ibnu, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I,
Yogyakarta, 1998
Sulaiman
Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran
Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali,
Jakarta: Bumi Aksara,1991.
[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat
dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Ibid, hlm. 181.
[6] arun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.
[7]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran
al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998,
hlm. 56.
[8] Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997),
hal.159.
[9]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan
Al-Ghazali, (Jakarta: Guna Aksara. 1986), hal. 19.
[10]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan
Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 1994), hal. 102.
[11]Ibid
[12]Ibid, hlm. 94.
[13]Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari
Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991. hlm. 56
[14]Ibid
[15]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam
Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama,
Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[16] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin,
juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[17]Al-Ghazali, Ihya
Al-Ghazali (Terj. Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV,
hal. 193
[18]Ibid
[19]M. Abul Quasem, Op.Cit..,
hal. 102-103
[20]Al-Ghazali, Op.Cit,
hal. 197
[21]Zaenuddin, Op.Cit,
hal. 166
[22]Al-Ghazali, Op.Cit,
hal. 19
[23]Ibid, hal. 195
[24]Ibid
[25]Ibid, hal. 194
[26]Ibid
[27]Ibid
[28]Ibid, hal. 196
[29]Ibid, hal. 195-196
[30]Ibid, hal. 197
[31]Al-Ghazali , Op. Cit,
hal. 196
[32]Ibid
[33]Ibid
[34]Ibid
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid
[38]Ibid
[39]Ibid
[40]Ibid
[41]Ibid, hal. 197-198
[42]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993, hlm. 55-62.
Assalamu'alaikum, Pak Muhsinun, Upload File-File Kuliahnya ya, biar kami buka dan baca di UNMURA.
BalasHapusInsya Allah, jika ada waktu dan kesempatan.
Hapus