KURIKULUM PONDOK PESANTREN
Oleh: Muhsinun
A. PENDAHULUAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang masih bisa survive (bertahan) sampai hari ini. Hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasan dunia muslim lainya, dimana akibat gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang membawanya keluar dari eksistensi lembaga-lembaga pendidikan tradisioanal.
Kemampuan pesantren untuk tetap bertahan karena karakter eksistensinya, yang dalam bahasa Nurcholis Madjid disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).[1] Penyelenggaraan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai dibantu beberapa ustadz yang hidup bersama di tengah para santri, dengan bangunan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan dan sekaligus tempat belajar mengajar, serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Mereka hidup bersama-sama antara kyai, ustadz, santri serta pengasuh lainnya, sebagai satu keluarga besar.
Pondok Pesantren adalah Pendidikan Agama yang Berasal dari masyarakat dengan tujuan akhir membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi luhur, berakhlakul karimah dan adil. Ini adalah nilai yang sempurna, artinya manusia yang beragama sekaligus harus beriman pada yang gaib, dan berilmu, Mereka menjadi manusia yang utuh. Jadi kalau pendidikan Agama hanya menghasilkan orang-orang yang terikat pada dogma dan tradisi-tradisi, lalu menyalahkan orang lain yang berbeda dogma dan tradisi, serta kehilangan berbudi luhur dan berakal sehat, maka gagal sudah pendidikan Agama itu, apapun nama Agamanya.
Sebagai Lembaga pendidikan Islam yang mempunyai tujuan seperti di atas, Pondok Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang mencoba untuk membina dan membangun insan manusia yang kamil yang sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena pentingnya pendidikan Agama, perlu kiranya untuk dilestarikan dan dibudayakan serta perlu pengembangan dalam berbagai bidang, misalnya kurikulum pondok pesantren sebagai acuan dalam melaksanakan proses pendidikan di Pesantren yang sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga kualitas output pondok pessantren benar-benar mampu untuk menjawab tantangan zaman dan tuntutan masyarakat terhadap kegiatan yang memerlukan campur tangan dari alumni Pondok pesantren.
Maka di sinilah pentingnya Kurikulum Pondo Pesantren, sehingga perlu untuk di kaji dan di kembangkan terus-menerus sehingga menccapai suatu kurikulum yang handal dan dapat menjadi kiblat bagi dunia pendidikan, sebagai rujukan yang patut ditiru oleh berbagai lmbaga pendidikan di indonesia pada khususnya dan di tingkat global pada umumnya.
B. PEMBAHASAN
1. Kepemimpinan Pondok Pesantren
Dalam sebuah pesantren, kyai merupakan elemen yang paling esensial.[2] Beliau merupakan figur sentralistik, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan. Kyai merupakan pemimpin tunggal yang memegang peran hampir mutlak. Beliau merupakan pusat kekuasaan tunggal yang mengendalikan sumber-sumber yang ada dan juga merupakan sumber utama apa yang berkaitan dengan kepemimpinan, ilmu pengetahuan dan misi pesantren.[3]
Kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren. Keberadaan seorang kyai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia.[4] Ustadz, pengurus pondok, dan santri hanya dapat melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kyai. Beliau berhak menjatuhkan hukuman bagi santri-santrinya yang melanggar ketentuan-ketentuan titahnya menurut kaidah-kaidah normatif yang mentradisi di kalangan pesantren. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang sentralistik dan otoriter disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren.
Secara kultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau jawa. Kyai dianggap memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain di sekitarnya. Oleh karenanya hampir setiap kyai yang ternama beredar legenda tentang keampuhannya yang secara umum bersifat magis.[5] Kyai betapapun tidak bisa begitu saja dipisahkan dari budaya feodalisme yang tumbuh di kalangan pesantren. Akhirnya tradisi feodalisme terasa sulit dihapus dari dalam pesantren itu sendiri. Sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karismatik dan keterampilannya.[6]
Segala bentuk kebijakan penyelenggaraan pendidikan, baik menyangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum yang dipakai acuan, metode pengajaran dan pendidikan yang diterapkannya, keterlibatan dalam aktivitasaktivitas di luar maupun sistem pendidikan yang diikuti adalah wewenang mutlak kyai. Berkaitan dengan penentuan kebijakan (policy) pendidikan, pengajaran, lebih-lebih menyangkut aspek manajerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap.[7] Maka wajar bahwa pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan kepemimpinan pribadi kyai.
Paparan di atas merupakan gambaran realitas kyai atau pengasuh pesantren tradisional yang sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat dengan figur kyai, figur sentral, otoritatif dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Kebanyakan pesantren menganut pola “serba mono”: monomanajemen dan mono-administrasi sehingga delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga yang bisa menjadi penerus kepemimpinan adalan anaknya yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes.
Dewasa ini terdapat kecenderungan yang kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Perkembangan kelembagaan pesantren ini, terutama disebabkan adanya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum yang menganut sistem yang lebih rasional, demokratis dan terbuka.[8] Maka banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.[9]
Kecenderungan membentuk yayasan ternyata hanya diminati pesantren-pesantren yang tergolong modern, akan tetapi pelaksanaanya belum pada pesantren yang masih bersifat tradisional. Kyai pesantren modern relatif demokrat, toleran dan mudah melakukan adaptasi terhadap upaya pembaharuan. Keberadaan yayasan di pesantren memang memiliki konsekwensi logis.[10] Yayasan ini mengubah mekanisme manajerial pesantren. Otoritas tidak lagi bersifat mutlak di tangan kyai, melainkan bersifat kolektif di tangan bersama menurut pembagian tugas masing-masing individu, kendati peran kyai masih dominan. Secara legal-formal kyai tidak lagi berkuasa mutlak.
Teori kepemimpinan yang terdapat di Pondok Pesantren kebanyakan menggunakan model kepemimpinan parsitipatif. Kepempinan partisipatif menyangkut penggunaan berbagai macam prosedur keputusan yang memberi orang lain pengaruh tertentu terhadap keputusan pemimpin tersebut. Kepemimpinan partisipatif mencakup konsultasi, pengambilan Keputusan bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi dan manajemen yang demokratis.
Dari sekian banyak definisi kiranya dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi[11] dengan seorang pemimpin puncak sebagai figur sentral yang memiliki wewenag dan tanggung jawab dalam mengefektifkan organisasi tersebut.[12] Karena kepemimpinan akan selalu terkait dengan kemampuan mempengaruhi orang lain dan kemampuan mengambil keputusan.[13]
Sehubungan dengan hal ini, terdapat dua dimensi utama, yaitu:
(1) Dimensi yang berhubungan dengan kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan dan aktivitas pemimpin, yang terlibat pada tanggapan/persepsi orang-orang yang dipimpinnya. Dimensi ini disebut Strategi Kepemimpinan dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi pemimpin.
(2) Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin melalui keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan pemimpin.[14]
Moefti Wirayuda mengatakan bahwa esensi dari dasar kepemimpinan adalah:
(1) kemampuan mempengaruhi orang lain,
(2) adanya pengikut (anggota organisasi) yang dapat dipengaruhi melalui ajakan, bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya, dan
(3) adanya tujuan yang hendak dicapai.[15]
Kepemimpinan dalam suatu organisasi mempunyai fungsi, Fungsi dan peran kepemimpinan yang dilaksaakan akan memperkuat posisi dan kedudukannya dalam organisasi tersebut. Sebaliknya pemimpin yang kurang memahami dan tidak bisa melaksanakan fungsi dan perang kepemimpinannya, maka akan mudah sekali gagal dan tidak berhasil membangun organisasinya.
Adapun fungsi-fungsi kepemimpinan menurut Sondang P. Siagian terdiri dari: (1) pimpinan sebagai penentu arah, (2) pimpinan sebagai wakil dan juru bicara organisasi, (3) pimpinan sebagai komunikator yang aktif, (4) pimpinan sebagai mediator, dan (5) pimpinan sebagai integrator.[16]
Sedang menurut Haidar Imam Bukhori, fungsi-fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Pengambil Keputusan
Fungsi pengambilan keputusan sebagai strategi kepemimpinan merupakan fungsi utama dan sangat penting perannya, karena dengan kemampuan serta keberanian pemimpin dalam mengambil keputusan berarti menunjukkan bahwa pemimpin mengetahui cara mencapai tujuan lembaga yang dipimpinnya. Pengambilan keputusan memerlukan suatu keberanian, karena setiap keputsan pasti memiliki resiko. Oleh karena itu untuk dapat memerankan fungsi pengambil keputusan ini, pemimpin seharusnya memahami teori-teori pengambilan keputusan dan dapat mempraktekkannya. Pengambilan keputusan yang dilakukan pemimpin hendaknya mempunyai dampak menyeluruh pada institusinya. Oleh karena itu pemimpin perlu mengikut sertakan anggota instansinnya, sesuai posisi dan tanggung jawabnya masing-masing. Pengikutsertaan ini dapat dilakuakan dengan memberikan kesempatan mereka untuk memberi masukan, berupa aktivitas, inisiatif, saran, pendapat dan umpan balik (feed back), baik di dalam maupun di luar rapat. Kemudian seorang pemimpin harus mampu memilih alternatif terbaik, yang memiliki resiko negatif paling rendah diantara sejumlah alternatif keputusan yang dihadapinya serta menjelaskan alasan-alasannya memilih salah satu alternatif keputusan dengan cara yang paling mudah difahami, agar mendapat dukungan dalam pelaksanaannya.
b. Fungsi Instruktif
Fungsi instruktif (perintah) merupanan wewenang dan tanggung jawab pemimpin yang harus dijalankan secara efektif. Fungsi ini tidak harus dijalankan secara otoriter terhadap anggota instansinya. Pemberian instruksi dari seorang pemimpin harus disampaikan secara jelas, sehingga dapat dihindari kekeliruan dalam memahami dan melaksanakannya. Pemberian perintah, perlu menggunakan tata krama dan mempertimbangkan faktor usia, posisi, pengaruh dan sikap anggotanya di lingkungan organisasinya, karena proses pemberian perintah berlangsung di dalam ineraksi antar manusia/individu. Hal ini akan menimbulkan rasa dihargai, dipartisipasikan dan dihormati pada anggota organisasi yang akan melaksanakannya.
c. Fungsi Konsultatif
Pemimpin dipandang sebagai orang yang tepat untuk berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah yang bergam di lingkungan organisasi. Ia menjadi figur sentral dan tumpuan harapan anggotannya. Oleh karena itu seorang pemimpin harus siap dan bersedia memberi kesempatan pada anggotanya untuk berkonsultasi dalam mengatasi/menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan dan mungkin juga masalah-masalah pribadi para anggotannya.
d. Fungsi Partisipatif
Fungsi partisipatif merupakan fungsi kemampuan pemimpin mengikutsertakan anggotanya sesuai dengan posisi dan kewenangannya agar berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang relevan. Partisipasi aktif juga dapat diwujudkan dalam berbagai kegiatan penting seperti dalam proses pengambilan keputusan, baik di dalam maupun di luar rapat.
e. Fungsi Delegatif
Fungsi delegatif merupakan fungsi kepemimpinan dalam mendaya gunakan orang lain. Pemimpin harus mampu membagi pekerjaan dan melimpahkan wewenag dan tanggung jawab pelaksanaannya, termasuk dalam mengambil keputusana sesuai batas kekuasaan dan tanggungjawab yang telah dilimpahkan. Fungsi delegatif ini dilakukan untuk mewujudkan organisasi yang dinamis dalam mengikuti perkembangan ilmu dan tehnologi di bidangnya, karena tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pemimpin. Oleh karena itu diperlukan kesediaan dan kemampuan pemimpin mendelegasikan wewenang dan tanggungjawab pada pimpinan-pimpinan unit kerja bawahannya.[17]
2. Kurikulum Pondok Pesantren
Perkembangan yang begitu pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan pengertian kurikulum selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu namun demikian satu hal yang permanen disepakati bahwa Istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani semula populer dalam bidang olah raga yaitu Curere yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olahraga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam bahasa Arab, term kurikulum dikenal dengan term manhaj yakni jalan terang yang dilalui manusia dalam hidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik utk menggabungkan pengetahuan ketampilan sikap dan seperangkat nilai.
Secara etimologi artikulasi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua pertama dalam pengertian yang sempit disebut juga (pengertian tradisional) yakni sebagaimana dirumuskan “The curriculum has mean the subjects taught in school or the course of study“. Kurikulum adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi. Kedua dalam pengertian yang luas disebut juga (pengertian modern) yakni seperti dirumuskan “The curriculum is looked as being composed of all the actual experience pupils have under school direction writing a courrse of study become but small prt of curriculum program”. Kurikulum adalah semua pengalaman aktual yang dimiliki siswa di bawah pengaruh sekolah sementara bidang studi adalah bagian kecil dari program kurikulum secara keseluruhan.
Salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan, adalah kurikulum.[18] Namun demikian kurikulum sering kali tidak mampu mengikuti kecepatan laju perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan.
Dalam konteks pendidikan di pesantren, menurut Nurcholish Madjid, istilah kurikulum tidak dikenal di dunia pesantren, terutama masa prakemerdekaan, walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada dan keterampilan itu ada dan diajarkan di pesantren. Kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum. Tujuan pendidikan pesantren ditentukan oleh kebijakan Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut.[19]
Pesantren dalam kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Pesantren besar, pesantren Tebuireng Jombang, misalnya, di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi, pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dirumuskan secara baik.
Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi: Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan Tajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan.
Gambaran naskah agama yang harus dibaca dan dipelajari oleh santri, menurut Zamakhsyari Dhofier mencakup kelompok “Nahwu dan Sharaf, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawwuf, cabang-cabang yang lain seperti Tarikh dan Balaghah”.[20] Itulah gambaran sekilas isi kurikulum pesantren tentang “salafi”, yang umumnya keilmuan Islam digali dari kitab-kitab klasik, dan pemberian keterampilan yang bersifat pragmatis dan sederhana.
Adapun karakteristik kurikulum yang ada pada pondok pesantren modern, mulai diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama melalui sekolah formal (madrasah). Kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (sekolah) pada waktu-waktu kuliah. Waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji ilmu Islam khas pesantren (pengajian kitab klasik).[21]
Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional.[22]
Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak “ortodoks” sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.
Mencermati hal di atas, bentuk pendidikan pesantren yang hanya mendasarkan pada kurikulum “salafi” dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kiai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju dengan cepat ini.
Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang “mumpuni” dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam bentuk kedua, pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dan lembaga sekolah, hubungan ideal antara keduanya perlu dikembangkan. Kesadaran dalam mengembangkan bentuk kedua ini, tampaknya mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Namun dalam kondisi riil, keberadaan pesantren yang telah mengadopsi kurikulum sekolah (madrasah), ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di sana-sini masih banyak terlihat kendala yang dihadapinya sehingga hasilnya pun belum pada taraf memuaskan. Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan.
Kurikulum pendidikan di pesantren saat ini tak sekedar fokus pada kita kitab klasik, tetapi juga semakin banyak memasukkan mata pelajaran dan keterampilan umum di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tak populer beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS Misal Undar Jombang Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat dll.
Berkut salah satu contoh kurikulum pondok pesantren yang merumuskan kurikulum disesuaikan dengan keinginan dan spesifikasi pesantren salafiyah dengan kurikulum modern:[23]
KURIKULUM PONDOK PESANTREN
TAHFIZHIL QUR’AN DAARUL HUFFAZH
MODEL SISTEM KREDIT SEMESTER (SKS)
PPTQ DAARUL HUFFAZH
1. Jenjang pendidikan dibagi tiga :
a. Thobaqoh Ula (Pra Semester) : 3 tahun
b. Thobaqoh Wustho (Semester) : 3 tahun
c. Thobaqoh ‘Ulya (Pasca Semester) : 3 tahun
2. Santri dapat mengambil jenjang dan semester manapun setelah melalui test masuk dan atau Ujian Lompatan.
3. Jenjang Pra Semester mengikuti system paket (semua mata pengajian adalah mata pengajian pokok), sehingga apabila ada satu mata pengajian tidak lulus, maka santri yang bersangkutan tidak dapat mengambil satupun mata pengajian program diatasnya.
4. Pada jenjang Semester, santri dapat mengambil mata pengajian manapun yang telah dipenuhi syarat-syarat pengambilannya,setelah disetujui oleh Pembimbing Akademik.
5. Pada jenjang semester, mata pengajian Tahfizh,Fiqh dan Alat merupakan mata pengajian pokok, selain itu adalah non pokok.
6. Meskipun menganut SKS (Sistem Kredit Semester), padajam-jam mengaji, santri tetap diwajibkan melakukan kegiatan ta’allum, baik formal (mengikutipengajian di kelas) maupun personal dengan dibimbing Ustadz.
7. Satu sks (satuan system kredit semester, denganhuruf kecil) berarti dalam satu minggu belajar di kelas (Musyafahah dengan Guru) selama 3 jam dan diluar kelas 3 jam.
8. Jenjang Pasca Semester hanya bias diambil setelah semua mata pengajian pada jenjang semester dinyatakan lulus.
MATA PENGAJIAN DAN KITAB ACUAN YANG DIGUNAKAN
Berikut adalah daftar mata pengajian dari 3 thobaqoh yang ada beserta besar kredit semester dan kitab yang menjadi acuannya yaitu:
1. Thobaqoh Ula
NO
|
MATA PENGAJIAN
|
KITAB
|
SKS
|
01
|
Iqro’/ Turutan
|
Iqro’/Qowa’idul baghdadiyyah
|
6
|
02
|
Juz’Amma
|
Juz’Amma
|
6
|
03
|
Akhlaq Dasar I
|
Adabul Insan
|
4
|
04
|
Nahwu Pengantar I
|
Jurumiyyah
|
12
|
05
|
Tafsir Ishthilahy I
|
Amtsilatut Tashrif
|
12
|
06
|
Fiqh Ibadah dasar I
|
Pesolatan/Darusul Fiqhiyah I
|
10
|
07
|
Tauhid Dasar I
|
Sifat 20
|
4
|
08
|
Mahfuzhot
|
Kumpulan Kata-kata Mutiara
|
2
|
09
|
Tarikh Dasar I
|
Tarikhul Hawadits/Khulashoh
|
4
|
10
|
Hadits Dasar I
|
Arba’in Nawawi
|
6
|
11
|
Tajwid I
|
Hidayatul Mustafid
|
6
|
12
|
Nahwu Pengantar II
|
Jurumiyyah
|
12
|
13
|
Tashrif Isthilahy II
|
AmtsilatutTashrif
|
12
|
14
|
Fiqh Ibadah Dasar II
|
Durusul Fiqhiyyah 2
|
12
|
15
|
Pengantar Nahwu II
|
Jurmiyyah
|
12
|
16
|
Tashrif Lughowy I
|
Amtsilatut Tashrif
|
12
|
17
|
Fiqh Ibadah Dasar III
|
Durusul Fiqhiyyah 3
|
10
|
18
|
Mahfuzhot/Imla
|
Kumpulan KKM/catatan
|
4
|
19
|
Akhlaq Dasar II
|
Washoya/Akhlaqu lil Banin 1
|
4
|
20
|
Tarikh Dasar II
|
Al Bayan wa Ta’rif/Khulashoh
|
4
|
21
|
Annahdliyyah Dasar I
|
Aqoid Ahlusunnah al Ghozali
|
2
|
22
|
Pengantar Nahwu II
|
Jurumiyyah
|
10
|
23
|
Tashrif Lughowy II
|
Amtsilatut Tashrif
|
10
|
24
|
Fiqih Ibadah Dasar IV
|
Durusul Fiqhiyyah
|
10
|
25
|
Hadits Dasar II
|
Al Ahaditsul Mukhtaroh
|
6
|
26
|
Tajwid II
|
Tuhfatul Athfal/Jazariyyah
|
4
|
27
|
Tauhid Dasar II
|
Jawahirul Kalamiyyah
|
6
|
28
|
Annahdliyyah Dasar I
|
Dalil-dalil Aswaja
|
2
|
29
|
Nahwu Dasar I
|
‘Imrithi
|
12
|
30
|
Ilmu Shorof I
|
Risalah Shorfiyyah
|
6
|
31
|
Fiqh Dasar I
|
Matan Taqrib
|
6
|
32
|
Tauhid Dasar III
|
Sanusiyyah
|
2
|
33
|
Qiroatul Kutub Dasar I
|
Fathul Qorib
| |
34
|
Akhlaq Dasar III
|
Ta’limul Muta’allim
|
4
|
35
|
Ushul Fiqh Dasar I
|
Mabady Awwaliyyah
|
4
|
36
|
Hadits Dasar III
|
Abi Jamrah
|
4
|
37
|
Tarikh Dasar III
|
Khulashoh Nurul yaqin 1&2
|
2
|
38
|
Annahdliyyah Dasar III
|
Hujjatu AW (Mbah Ali)
|
2
|
39
|
Imla’ I
|
Qowaidul Imla
|
2
|
40
|
Nahwu Dasar II
|
Qowaidul I’rob
|
12
|
41
|
Ilmu Shorof II
|
Risalah Shorfiyyah
|
6
|
42
|
Fiqih Dasar II
|
Matan Taqrib
|
6
|
43
|
Tafsir Dasar
|
Tafsir Al Fatihah
|
4
|
44
|
Qiroatul Kutub Dasar II
|
Fathul Qorib
|
6
|
45
|
Akhlaq Dasar III
|
Ta’limul Muta’allim
|
4
|
46
|
Ushul Fiqh Dasar II
|
As Sullam
|
2
|
47
|
Hadits Dasar III
|
Abi Jamrah
|
4
|
48
|
Tarikh Dasar IV
|
Khulashoh Nurul Yaqin
|
2
|
49
|
Mustholah Hadits Dasar
|
Mushtholah Hadits Sayyid Muh
|
2
|
50
|
Imla’ II
|
Qowa’idul Imla
|
2
|
2. Thobaqoh Wustho
NO
|
MATA PENGAJIAN
|
KITAB
|
SKS
|
01
|
Nahwu I
|
Alfiyyah I
|
12
|
02
|
Fiqh I
|
Fiqih Manhajj I
|
6
|
03
|
Ushul Fiqh I
|
Al-Bayan
|
4
|
04
|
Tauhid I
|
Kifayatul Awwam
|
2
|
05
|
Hadis I
|
Bulughul Marom
|
4
|
06
|
Qiraatul Kutub I
|
Matan Tahrir
|
6
|
07
|
Akhlak
|
‘Izhonatunnasyiin
|
4
|
08
|
Tafsir I
|
Jalalain 1-5
|
8
|
09
|
Annahdliyah
|
Risalah AWJ
|
2
|
10
|
Nahwu II
|
Alfiyyah II
|
12
|
11
|
Fiqh II
|
Fiqh Manhajji II
|
6
|
12
|
Ushul Fiqh II
|
Al-Luma’
|
4
|
13
|
Tauhid II
|
Fathul Majid
|
2
|
14
|
Hadits II
|
Bullughul Marom
|
4
|
15
|
Qiraatul Qutub II
|
Matan Tahrir
|
6
|
16
|
Ilmu Tafsir I
|
Zamzami
|
4
|
17
|
Tafsir II
|
Jalalain 6-10
|
8
|
18
|
Mustholahul Hadits I
|
Baiquniyah
|
2
|
19
|
Nahwu III
|
Alfiyyah III
|
12
|
20
|
Fiqh III
|
Fiqh Manhaji III
|
6
|
21
|
Tafsr III
|
Jalalain 11-15
|
8
|
22
|
Qiraatul Qutub IV
|
Fathul Mu’in I
|
6
|
23
|
Hadits Ahkam I
|
Musnad Syafi’i
|
4
|
24
|
Mustholahul Hadits II
|
Taisir Mustholah I
|
4
|
25
|
Tarikh I
|
Nurul Yaqin
|
4
|
26
|
Ushul FIqh III
|
Labbu Ushul
|
4
|
27
|
Nahwu IV
|
Alfiyyah IV
|
12
|
28
|
Fiqh IV
|
Fiqh Manhaji IV
|
6
|
29
|
Tafsir IV
|
Jalalen 20-25
|
8
|
30
|
Qiroatul Kutub IV
|
Fathul Mu’in
|
6
|
31
|
Hadits Ahkam I
|
Musnad Syafi’i I
|
4
|
32
|
Mustholah Hadits II
|
Taisir Mustolah I
|
4
|
33
|
Tarikh II
|
Nurul Yaqin 1
|
4
|
34
|
Ushul Fiqh IV
|
Lubbul Ushul I
|
4
|
35
|
Balaghoh I
|
Jauharul Maknun
|
12
|
36
|
Fiqh V
|
Fiqh Manhaji V
|
6
|
37
|
Tashawuf I
|
Bidayatul Hidayah
|
2
|
38
|
Tauhid III
|
Jauharuttauhid
|
4
|
39
|
Qiroatul Kutub V
|
Fathul Mu’in III
|
6
|
40
|
Tafsir V
|
Jalalen 21-25
|
8
|
41
|
Tafsir Ahkam I
|
Ahkamul Qur’an I
|
2
|
42
|
Qowaidul Fiqhiyyah
|
Qowaidul Fiqhiyyah
|
4
|
43
|
Faroidl
|
Al Mawarits
|
2
|
44
|
‘Arudl
|
Mukhtashor Syafi
|
2
|
45
|
Balaghoh II
|
Jauharul Maknun
|
12
|
46
|
Fiqh VI
|
Fiqh Manhaji VI
|
6
|
47
|
Tashawuf II
|
Al Atqiya’
|
2
|
48
|
Falak
|
Fathur Rouful Manan
|
4
|
49
|
Qiroatul Kutub VI
|
Fathul Mu’in IV
|
6
|
50
|
Tafsir VI
|
Jalalen 26-30
|
8
|
51
|
Tafsir Ahkam II
|
Ahkamul Qur’an II
|
4
|
52
|
Manthiq
|
Sullamul Munawwarok
|
4
|
53
|
Tauhid IV
|
Husunul Hamidiyah
|
2
|
54
|
Ilmu Tafsir II
|
At Takhbir
|
2
|
3. Thobaqoh ‘Ulya ( Ditempuh selama 3 tahun )
NO
|
MATA PENGAJIAN
|
KITAB
|
SKS
|
01
|
Tashawuf
|
Ihya’ Ulumuddin
|
24
|
02
|
Hadits
|
Shohih Bukhori
|
24
|
03
|
Fiqh
|
Wahab dan Mahally
|
24
|
04
|
Mustholah Hadits Lanjut
|
Mustholah Hadits
|
12
|
05
|
Alat Lanjut
|
Syarh-syarh Alfiyah Ibnu Malik
|
12
|
Pengembangan kurikulum, dalam konteks tulisan ini lebih menekankan pada model pengembangannya yang setidaknya dapat diklasifikasi menjadi empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, bahan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian.[24] Oleh karena itu, bermuara dari empat hal ini akan diurai bahasannya yang dapat dipertimbangkan implementasinya di dunia pendidikan pesantren.
C. PENUTUP
Dari pembahasan tentang pondok pesantren dan kurikulum yang ditempuh pada bahasan di atas dapat digarisbawahi bahwa :
1. Upaya pengembangan kurikulum di pondok pesantren dipandang sangat urgen, terutama untuk menghadapi tantangan perubahan jaman sekaligus sebagai antisipasi terhadap segala konsekuensi yang menyertainya. Dengan demikian, pesantren mempunyai potensi besar untuk menjadi lembaga pendidikan ideal yang dapat dijadikan alternatif bagi masyarakat Indonesia.
2. Agar potensi tersebut benar-benar teraktualisasi menjadi kekuatan nyata, maka pesantren harus berbenah diri dalam melaksanakan fungsi kependidikannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan/inovasi kurikulum pendidikan pesantren. Salah satu model pengembangan kurikulum pesantren yang dapat dipertimbangkan implementasinya adalah bertumpu pada tujuan, pengembangan bahan pelajaran, peningkatan proses pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian yang komprehensif. Adapun model pembelajaran dengan metode sorogan dan bandongan sebagai tradisi akademik di pesantren masih tetap relevan, namun perlu dikembangkan menjadi model sorogan dan bandongan yang dialogis.
3. Di samping itu, perlu pengembangan bahan pembelajaran tertentu, terutama yang menonjolkan penalaran dan pemikiran filosofis. Bagaimanapun juga, keberhasilan upaya-upaya pengembangan pesantren, sangat tergantung kepada pesantren yang bersangkutan karena pengasuh dan para ustadz di pesantren itu sendiri yang seharusnya memiliki posisi sentral untuk menggerakkan roda dan dinamika pesantrennya.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001
Azra Azyumardi, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” Pengantar dalam Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997
Bawani Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1998
Bukhori Haidar Imam, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi, Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press, 2003
Dhofier Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandanagan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, t.t
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah PertumbuhanDan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Madjid Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan, Jakarta: aramadina, 1997
Mastuhu, “Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia”, dalam Jamal D. Rahman et al. (eds.), Wacana Baru Fiqh Sosial 70 Tahun KH. Ali Yafie, Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1997
Mulkhan Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta: Sipres, 1999
Mulyasa E., Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung; Rosdakarya, 2002
Nasution S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
...................., Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991
Qomar Mujamil, Pesantren dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2004
Siagian Sondang P., Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: PT Bina Aksara, 1988
Wahid Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, t.tp. CV. Dharma Bhakti, t.t
Wirayuda Moeftie, Dimensi Kepemimpinan dalam Manajemen, Jakarta: Balai Pustaka, 1987
Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholis Madjid Terhadap Pendidika Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002
.
[1] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan (Jakarta: aramadina, 1997), hlm.3.
[2] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandanagan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, t.t), hlm. 55.
[3] Mastuhu, “Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia”, dalam Jamal D. Rahman et al. (eds.), Wacana Baru Fiqh Sosial 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1997), hlm. 259.
Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 63.
[5] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (t.tp. CV. Dharma Bhakti, t.t), hlm. 20.
[6] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah PertumbuhanDan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm49.
[7] Mujamil Qomar, Pesantren dari Tarnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.32.
[8] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta: Sipres, 1999), hlm: 11
[9] Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” Pengantar dalam Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.xx.
[10] Mujamil Qomar, Op. Cit. hlm. 46.
[11] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi Bandung; Rosdakarya, 2002), hlm. 107.
[12] Haidar Imam Bukhori, Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi (Yogyakarta: Gajah Mada Univesity Press, 2003), hlm. 72.
[13] Ibid., hlm. 38.
[14] Ibid., hlm. 39.
[15] Moeftie Wirayuda, Dimensi Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 88.
[16] Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988) hlm. 46-50.
[17] Haidar Imam Bukhori, Kepemimpinan …,hlm. 46-58.
[18] S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 13.
[19] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 59.
[20] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 50.
[21] Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hal. 155.
[22] Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1998), hal. 95-96.
[24] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 4
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Untuk Perbaikan Blog Ini