REVITALISASI MADRASAH DINIYAH
DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT BELAJAR
Oleh :
Muhsinun
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan Agama bergaris akhir pada terbentuknya manusia yang beriman dan
bertakwa, berbudi luhur, berakhlakul karimah dan adil. Ini adalah nilai yang
sempurna, artinya manusia yang beragama sekaligus harus beriman pada yang gaib,
dan berilmu untuk hal-hal yang dibuka Allah Swt. mereka menjadi manusia yang
utuh. Jadi kalau pendidikan Agama hanya menghasilkan orang-orang yang terikat
pada dogma dan tradisi-tradisi, lalu menyalahkan orang lain yang berbeda dogma
dan tradisi, serta kehilangan berbudi luhur dan berakal sehat, maka gagal sudah
pendidikan Agama itu, apapun nama Agamanya.
Lembaga pendidikan Islam yang
mempunyai tujuan seperti di atas, salah satunya adalah Madrasah Diniyah, yaitu lembaga
pendidikan Islam yang mencoba untuk membina dan membangun insan manusia yang
kamil yang sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena pentingnya pendidikan Agama, maka perlu kiranya untuk
dilestarikan dan dibudayakan dalam kehidupan di masyarakat, sehingga masyarakat
merasa butuh dan ingin untuk memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan Agama
khususnya Madrasah Diniyah. Maka di sinilah pentingnya Revitalisasi pendidikan Agama
khususnya Madrasah Diniyah untuk memulihkan “citra Allah” dalam diri manusia
sehingga melahirkan keluhuran budi pekerti dan keyakinan iman seseorang[1] yang
membawa pada tujuan hidup dan kehidupan keagamaan bagi setiap manusia.
B. PEMBAHASAN
1. Sekilas Tentang Madrasah Diniyah
Pendidikan adalah usaha untuk membimbing
yang dilakukan secara sadar terhadap peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang baik dan utama. Madrasah Diniyah Awaliyah adalah satuan
pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Agama
Islam tingkat dasar dengan masa belajar empat tahun, dan jumlah jam belajar 18
jam pelajaran/minggu. Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai satuan pendidikan 4
keagamaan jalur luar sekolah di lingkungan Departemen Agama, berada di dalam
pembinaan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten
atau Kota, dalam hal ini Kepala Seksi Perguruan Agama Islam, atau tata kerja
organisasi yang sejenis. Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah yang dimaksud
adalah lembaga pendidikan informal yang terfokus pada pembelajaran Agama Islam.
Lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah adalah Lembaga
pendidikan yang mungkin lebih disebut sebagai pendidikan non formal, yang
menjadi lembaga pendidikan pendukung dan menjadi pendidikan alternatif.[2] Biasanya
jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai bakda ashar hingga maghrib.
Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan
Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih
mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan.
Madrasah Diniyah adalah Madrasah yang seluruh mata pelajrannya bermaterikan
ilmu-ilmu Agama, yaitu fikih, tafsir, tauhid, hikmahbtasyri’, adabh (akhlak),
hadits, nahwu, sharaf, ushul fikih dan olmu-ilmu lainnya.[3] hal ini
membuat santri Madrasah Diniyah benar-benar mampu menguasai ilmu-ilmu Agama
karena tidak terlalu dituntut untuk mengejar kurikulum yang sudah ditargetkan,
malainkan belajar dengan cara penguasaan materi bukan mengejar target pokok
bahasan yang telah ditentukan.
Sebenarnya Madrasah Diniyah lahir dari ketidak puasan sebagian tokoh
terhadap sistem pendidikan Pesantren, sehingga mereka mencoba untuk membuat
lembaga pendidikan yang sedikit lain dengan Pesantren. Melalui
organisai-organisasi sosial kemasyarakatan mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan
misalnya organisasi Muhammadiyah, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Diniyah,
Thawalib, Pendidikan Islam Indonesia (PII), dan sejumlah sekolah-sekolah yang
tidak berafiliasi kepada organisasi apapun.[4]
Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar
juga melengkapinya dengan sekolah Agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah
Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah, sebagai
salah satu sarana untuk memperdalam pengetahuan Agama, karena pada dasarnya
pendidikan itu secara garis besarnya terdiri dari tiga bagian yaitu, pendidikan
oleh dirinya sendiri, kegiatan pendidikan oleh lingkungan dan kegiatan oleh
orang lain terhadap orang tertentu.[5] Demikian
pula tempat pendidikan ada tiga yang pokok, yaitu di dalam rumah, di
masyarakat, dan di sekolah.[6] Yah
namun sebagian guru-guru ada yang tidak menyukai para muridnya untuk merangkap belajar di Madrasah Diniyah,
khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak
berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari
para pemuka Agama.
Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh Agama di desa. Biasanya
memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi
masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga
tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di Madrasah juga tidak dibayar
apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan
Islam.
Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga
pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab,
belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri
kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar Agama sore hari di, lembaga pendidikan tersebut. Berbeda dengan
pendidikan Agama pada sekolah formal seperti MI, MTs, MA dan PTAI yang harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Kementerian Agama
dalam berbagai aspek misalnya kurikulum, akreditasi, supervisi dan ujian.[7] Dengan adanya
lembaga pendidikan Agama seperti Madrasah Diniyah ini, tidak menjadikan banyak
orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran Agama di sekolah.
Berapapun jumlah jam pelajaran Agama di sekolah umum (sekolah dasar), tidak
pernah dipersoalkan para siswa sudah mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah
ini.
Para tokoh Agama menganggap pendidikan Diniyah tersebut sedemikian penting,
sehingga mereka menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh
siswa sebuah sekolah. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk Madrasah
Diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu.
Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan
jam pelajaran Agama bagi para siswa sekolah umum, bahkan masa sekarang ini
pendidikan Madrasah Diniyah sudah merambah ke berbagai golongan di masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Agama merintis bentuk lembaga
pendidikan yang dianggap lebih sempurna, yaitu berupa Madrasah Ibtidaiyah untuk
tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama dan Madrasah
Aliyah untuk Tingkat atas atau setara SMU.[8] Di
pedesaan sejak akhir tahun 1960 an banyak berdiri Madrasah Ibtidaiyah. Para
tokoh Agama dengan kekuatan yang dimiliki berusaha mendirikan jenis lembaga
pendidikan tersebut, sehingga di mana-mana muncul Madrasah ibtidaiyah.
Kebanyakan Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan difasilitasi oleh masyarakat
sendiri, atau berstatus swasta. Sudah barang tentu keadaan lembaga pendidikan
Islam tersebut sangat sederhana, baik dari aspek ketersediaan fasilitas
pendidikannya maupun juga ketenagaannya. Lembaga pendidikan ini sebenarnya
adalah sebagai wujud perbaikan sistem pendidikan masyarakat yang memang masih
bingung dengaan sestem pendidikan mana yang paling tepat, efektif dan efesien.
Dengan semakin maraknya pertumbuhan lembag-lembaga pendidikan Agama yang
diakui oleh lembaga kepemerintahan dalam hal ini Kementerian Agama (Departemen Agama. red), pertumbuhan
lembaga pendidikan Agama yang bersifat tradisional sampai lembaga pendidikan Agama
mulai kurang diperhatikan. Sungguh pun begitu, ada fenomena yang menarik dalam
dunia pendidikan kita, khususnya berkaitan dengan pesantern dan Madrasah
Diniah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan Madrasah yang menganut yang
menganut sistem pendidikan Nasional kian bertambah dan kian maju dengan
pesatnyadari waktu ke waktu. Namun ada yang manarik pula bahwa pertumbuhan itu
dibarengi dengan makin banyaknya Madrasah-Madrasah Diniyah, yaitu Madrasah yang
keseluruhan mata pelajarannya adalah mata pelajaran Agama ataupun kalau
ditambah dengan mata pelajaran umum, maka prosentasenya sangat sedikit. [9] Dapat dipahami bahwa pertumbuhan Madrasah Diniyah,
yang menurut survey pada tahun 1999, jumlahnya berkisar 22.000 buah
mengekspresikan tuntutan aspirasi pendidikan Agama lebih banyak. Mereka umumnya
bahwa pelajaran dan pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum atau Pesantren-Pesantren
yang menganut kurikulum pendidikan Nasional belum cukup.[10]
Munculnya lembaga pendidikan Islam (Madrasah Diniyah) ini disambut baik oleh masyarakat pada umumnya.
Bentuk lembaga pendidikan Islam ini dianggap ideal, karena melalui lembaga
pendidikan tersebut mengajarkan ilmu Agama sementara ilmu umum sudah didapati
di sekolah-sekolah umum. Memang model lembaga pendidikan seperti itu yang
diinginkan oleh masyarakat, terutama kaum santri, sehingga kehadiran Madrasah Diniyah
mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, maka keberadaan Madrasah-Madrasah Diniyah di
beberapa lembaga pendidikan yang terintegrasai pada Pesantren menjadi benteng
untuk mempertahankan tradisi Pesantren dalam mempertahankan
tradisi/paradigmanya terhadap penguasaan “kitab kuning” sebagai ciri pokok Pesantren[11] yang
mengintegrasikan pendidikan Madrasah Diniyah dalam satu wadah/sistem
pendidikanya.
Memang bagi lembaga pendidikan Pesantren seyogyanya harus memulai melakukan
penyadaran diri untuk turut mengikuti perkembangan sosial masyarakat yang
akhir-akhir ini mulai cenderung untuk memilih pendidikan yang menuju ke arah
modern. Dalam hal ini, untuk mempertahankan kekhususannya maka Madrasah-Madrasah
Diniyah dijadikan sebagai lembaga pendidikan pendukung yang menjadi alternatif.
Hanya saja hal tersebut memang memerlukan pengaturan waktu (time managerial),
yang cermat.[12]
Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya,
maka pendidikan Madrasah Diniyah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung
oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi
mereka yang terpenting bernama Madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait
dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan
dimaksud. Tidak sebagaimana Madrasah Diniyah yang hampir semuanya gratis,
sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai
operasional Madrasah dengan membayar uang syari’ah (SPP).[13]
Namun ada sesuatu yang memilukan, dengan lahirnya sistem pendidikan Agama Madrasah
Ibtidaiyah, sebagian masasyarakat tidak selalu memilih lembaga pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah bagi anak-anak mereka. Masih banyak anak-anak santri yang masuk di
sekolah dasar. Dengan hilangnya Madrasah Diniyah ini, maka para siswa SD tidak
lagi bisa menambah pelajaran Agama di sore hari sebagaimana yang dulu-dulu.
Anak-anak Sekolah Dasar, akhirnya mencukupkan pelajaran Agama yang diberikan di
sekolah mereka masing-masing.
Akhir-akhir ini, sekalipun status Madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam
system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya
bahwa kualitas Madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum.
Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil.
Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang
diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran Agama,
maka jelas Madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak
tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, guru, buku, sarana
dan prasarana lainnya dipenuhi, sedangkan Madrasah tidak. Perlakuan terhadap
keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya sangatlah tidak tepat
dibandingkan hasilnya membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari,
sebab menjadi tidak adil.
Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola Madrasah juga
ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut
mengatakan bahwa Madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah.
Akibatnya, citra Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah,
tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak
mengurangi semangat masyarakat mempercayai Madrasah sebagai lembaga pendidikan
yang dianggap lebih baik dan mencukupi.
Akhir-akhir ini, Madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah
dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa
di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih
berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa
buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja
lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah, rupanya belum
mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini
keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan
yang dialami oleh sekolah umum.
Dulu, Madrasah Diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik.
Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal
para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut
informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri Madrasah Diniyah mampu
memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi Agama
Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang
ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya,
yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah. Wallahu
a’lam.
2. Madrasah Diniyah Sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan
adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat.
Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan
karakter manusia (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas
sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan
keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di
masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga
lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra
Pendidikan.[14]
Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan
masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan
pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan
pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku
birokratnya.
Pembangunan,
tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic
planning model atau engineering model yang memposisikan
masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan
yang berasal dari atas.[15]
Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa
masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu
keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin
diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik
dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara
birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang
pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada
keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang
dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan
anak.
Paradigma
berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri,
yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma
demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai
subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program
dan berpartisipasi sesuai dengan “ kapling “ yang disediakan
oleh pemerintah.
Terlepas
dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada
masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang
menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada
dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau
kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah
hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan
pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[16]
Partisipasi
ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan.
Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi,
nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama
masyarakat.[17] Pendidikan
dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs)
masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi
berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah
program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat
diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan
masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah
yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community-
based education).
Pengertian
tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara
gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal
itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian
secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa
masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan
ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[18]
Pendidikan
berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat
dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada
di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing
dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis
Masyarakat“ mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki
tiga (3) elemen yaitu :
1. Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan
program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar
masyarakat, karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan.
2. Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif
dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan
berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya
perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan
partisipasi dalam setiap kegiatan.
3. Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar
harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa
memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat
sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar. [19]
Selanjutnya
Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based
education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school -based
education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis
masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya
relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga
belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi,
biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis
sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu
belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis dan
mengutamakan ijazah.[20]
Dari
sini jelas terlihat bahwa sebenarnya Madrasah Diniyah sebagai pendidikan
berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model
pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya
saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah
tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya Madrasah Diniyah dan Pesantren
biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi
terhadap pendidikan dan Agama.
Kini
dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien
dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.
Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari
pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan Pesantren, Madrasah
Diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah
masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous
yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga
itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan
sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain
hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya.
3. Manajeman
dan Model Pendidikan Madrasah Diniyah
a.
Urgensi Managemen Pendidikan Madrasah Diniyah
Meskipun Madrasah Diniyah bukanlah lembaga pendidikan
formal yang mengikuti kurikulum Nasional yang telah ditetapkan Oleh Dinas
Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama, namun itu tidak berarti bahwa
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak memerlukan manageman,
manageman dibutuhkan oleh seluruh organisasi, karena tanpa managemen semua
usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan oeranisasi akan lebih sulit mencapai
kesempurnaan.
Pada hakikatnya tujuan didirikannya lembaga pendidikan Madrasah
Diniyah adalah untuk memberikan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri Madrasah
Diniyah. Eksistensi Madrasah Diniyah sangat dibutuhkan ketika lulusan Pesantren
yang menyelenggarakan pendidikan formal (sistem kurkulum Nasional) ternyata
kurang mumpuni dalam penguasaan ilmu Agama. Dengan kenyataan itu, maka
keberadaan Madrasah Diniyah menjadi sangat penting, sebagai penopang dan
pendukung pendidikan formal yang ada.[21]
Karenanya tidak berlebihan bila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Madrasah
Diniyah perlu dimanaj dengan sebaik-baiknya.
Ada tiga alasan utama diperlukannya manageman pendidikan
untuk Madrasah Diniyah yaitu:
1)
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Madrasah Diniyah, yakni memberikan pembekalan ilmu-ilmu Agama yang cukup
kepada para santri, dalam upaya mempersiapkan lahirnya santri-santri yang
matangdalam penguasaan ilmu-ilmu Agama. Kebutuhan terhadap manageman untuk Madrasah
Diniyah ini terasa semakin mendesak, mengingat posisinya sebagai lembaga
pendidikan pendukung bagi sistem pendidikan formal yang dilaksanakan Pesantren.
2)
Untuk menjaga keseimbangan sekaligus memfokuskan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan yang terjadi dalam Madrasah
Diniyah.
3)
Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas, bagaimanapun
setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan menafikan unsur-unsur manageman, maka
kegiatan itu tidak akan efektif dan efesien.[22]
b.
Aplikasi Manageman Waktu di Madrasah Diniyah
Meskipun Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang
mempunyai waktu yang cukup representatif untuk penyampaian materi-materi Agama,
namun sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga pendidikan lain, Madrasah Diniyahpun
perlu pengaturan waktu, terutama untuk kegiatan belajar mengajar yang
dilaksanakannya.
Pada prinsipnya beberapa tahapan yang dapat ditempuh
oleh Madrasah Diniyah dalam penerapan manageman waktu misalnya:
1)
Mencermati dan menjabarkan kalender pendidikan, sampai
ditemukan hari-hari efektif dan dan tidak efektif sesuai dengan tipe Madrasah
Diniyah Tersebut.
2)
Dengan jumlah waktu efektif dan tidak efektif, dapat
ditentukan dasar penyusunan program dan rensan belajar mengajar di Madrasah
Diniyah.
3)
Dengan rencana program tersebut, selanjutnya dibuat
rancangan waktu pendidikan Madrasah Diniyah yang komperehensif yang menyangkut
seluruh aspek kegiatan.
4)
Kegiatan non-pendidikan dapat dilakukan di luar jam
efektif Madrasah Diniyah.[23]
c.
Model Pendidikan Madrasah Diniyah.
Peran vital Madrasah Diniyah bagi masyrakat haruslah
tetap dijaga sampai kapanpun, hal tersebut dapat diperoleh jika model
pendidikannya dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah
dengan mengintergasikan Madrasah Diniyah ini kedalam lembaga pendidikan
pesantren atau lembaga pendidikan formal seperti MIN, MTs, dan MA.
Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan
model pendidikan Madrasah Diniyah yang ideal antara lain:
1)
Integralisasi pendidikan Madrasah Diniyah dengan sistem
pendidikan formal pondok pesantren
2)
Penerapan manageman pendidikan secara baik dan benar
3)
Sistem pembelajaran dilaksanakan harus dengan mengacu
pada kurikulum.
4)
Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang
sesuai.[24]
C.
KESIMPULAN
pendidikan Agama yang diperoleh anak di sekolah-sekolah umum
masih kurang. Alokasi waktu untuk anak memperoleh stimulus Agama kurang lebih
hanya 2x 40 menit/minggu. Walaupun di sekolah terdapat kegiatan ekstra di
bidang keagamaan, siswa yang berminat hanya sedikit. Inovasi dibentuk, semangat
usaha dari perorangan maupun organisasi menggagas adanya Madrasah Diniyah.
Madrasah Diniyah merupakan lembaga informal, yang waktu pelaksanaan kegiatannya
di luar jam sekolah. Siswanya tidak dibatasi dari sekolah manapun. Mengingat
masa usia sekolah (usia 5-13 tahun) merupakan masa penting anak dalam
perkembangan, maka didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Departemen Agama
sebagai fasilitator lembaga.
Melihat fenomena masyarakat yang tertera di atas, tampak jelas
bahwa masyarakat membutuhkan stimulus Agama yang lebih, terutama pada
anak-anak. Oleh karenanya tercipta inovasi pendidikan informal Madrasah Diniyah
Awaliyah. Dengan ini, peneliti mencoba untuk meneliti adakah pengaruh
pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah terhadap sikap beragama siswa.
Amin
Drs. H. Headri, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah, Jakarta:
Diva Pustaka, 2004
Fajar
A. Malik, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999, cet.
II
Jalal
Fasli dan Supriyadi Dedi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah, Yogyakarta, Adi Cita, 2001.
Ma’arif
Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007
Muhaimin dan
Mujib Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Oprasionalnya, Bandung
;Trigenda Raya ,1993
Raharjo
Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M,
1985
SM
Ismail, Huda Nurul, Khalik Abdul, Paradigma Pendidikan Islam,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Sutrisno Loekman, Menuju
Masyarakat Partisipatif,
Yogyakarta; Kanisius, 1995
Tafsir
Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda
Karya: 1991
Tillar
H.A.R., Pendidikan,Kebudayaan
dan Masyarakat Madani Indonesia,Setrategi Reformasi Pendidikan
Nasional, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999
Tjokrowinoto
Moeljarto, Politik
Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Yogyakarta; Tiara Wacana, 1995.
[1] Syamsul
Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007),
h. xvii
[2]Headri Amin, Peningkatan
Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004),
hal. 14
[4] Dawam Raharjo,
Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985),
hal. xi
[5] Dr. Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya: 1991), hal. 26
[6] Ismail SM,
Nurul Huda, Abdul Khalik, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
[7] Dr. Ahmad
Tafsir, op.cit, hal. 15
[8] Ibid, hal.
12
[9] Drs. H. Amin
Headari, op.cit. hal. 17
[10] A. Malik
Fajar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), cet.
II, hal.29-30
[11] Drs. H. Amin
Headri, Op.cit. hal. 18
[12] Ibid.
[13] Ibid.
Hal. 18
[14]Muhaimin
dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik dan
Kerangka Dasar Oprasionalnya, ( Bandung
;Trigenda Raya ,1993 ) hal.287.
[15]Loekman Sutrisno,
Menuju Masyarakat
Partisipatif,
(Yogyakarta; Kanisius, 1995),
hal. 78.
[16]Moeljarto
Tjokrowinoto, Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep,
Arah dan Strategi, (Yogyakarta ; Tiara Wacana,1995 ) hal. 80
[17]H.A.R.
Tillar, Pendidikan,Kebudayaan
dan Masyarakat Madani Indonesia,Setrategi Reformasi Pendidikan
Nasional, ( Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999 ) hal. 80
[18]Fasli
Jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi
Daerah, (Yogyakarta, Adi Cita, 2001 ) hal. 176.
[21] Drs. H. Amin
Headari, op.cit. hal. 91
[22] Ibid, hal.
92
[23] Ibid, hal.
119
[24] Ibid. Hal
102
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Untuk Perbaikan Blog Ini