Jumat, 11 Mei 2012


REVITALISASI MADRASAH DINIYAH 
DALAM MEMBENTUK MASYARAKAT BELAJAR
Oleh : Muhsinun


A.    PENDAHULUAN
Pendidikan Agama bergaris akhir pada terbentuknya manusia yang beriman dan bertakwa, berbudi luhur, berakhlakul karimah dan adil. Ini adalah nilai yang sempurna, artinya manusia yang beragama sekaligus harus beriman pada yang gaib, dan berilmu untuk hal-hal yang dibuka Allah Swt. mereka menjadi manusia yang utuh. Jadi kalau pendidikan Agama hanya menghasilkan orang-orang yang terikat pada dogma dan tradisi-tradisi, lalu menyalahkan orang lain yang berbeda dogma dan tradisi, serta kehilangan berbudi luhur dan berakal sehat, maka gagal sudah pendidikan Agama itu, apapun nama Agamanya.
Lembaga pendidikan Islam  yang mempunyai tujuan seperti di atas, salah satunya adalah Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan Islam yang mencoba untuk membina dan membangun insan manusia yang kamil yang sesuai dengan ajaran dan tujuan Agama Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena pentingnya pendidikan Agama, maka perlu kiranya untuk dilestarikan dan dibudayakan dalam kehidupan di masyarakat, sehingga masyarakat merasa butuh dan ingin untuk memasukkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah. Maka di sinilah pentingnya Revitalisasi pendidikan Agama khususnya Madrasah Diniyah untuk memulihkan “citra Allah” dalam diri manusia sehingga melahirkan keluhuran budi pekerti dan keyakinan iman seseorang[1] yang membawa pada tujuan hidup dan kehidupan keagamaan bagi setiap manusia.
B.     PEMBAHASAN

1.      Sekilas Tentang Madrasah Diniyah

Pendidikan adalah usaha untuk membimbing yang dilakukan secara sadar terhadap peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang baik dan utama. Madrasah Diniyah Awaliyah adalah satuan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Agama Islam tingkat dasar dengan masa belajar empat tahun, dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran/minggu. Madrasah Diniyah Awaliyah sebagai satuan pendidikan 4 keagamaan jalur luar sekolah di lingkungan Departemen Agama, berada di dalam pembinaan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota, dalam hal ini Kepala Seksi Perguruan Agama Islam, atau tata kerja organisasi yang sejenis. Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah yang dimaksud adalah lembaga pendidikan informal yang terfokus pada pembelajaran Agama Islam.
Lembaga pendidikan Islam yang bernama Madrasah Diniyah adalah Lembaga pendidikan yang mungkin lebih disebut sebagai pendidikan non formal, yang menjadi lembaga pendidikan pendukung dan menjadi pendidikan alternatif.[2] Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai bakda ashar hingga maghrib. Atau, memulai bakda isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan.
Madrasah Diniyah adalah Madrasah yang seluruh mata pelajrannya bermaterikan ilmu-ilmu Agama, yaitu fikih, tafsir, tauhid, hikmahbtasyri’, adabh (akhlak), hadits, nahwu, sharaf, ushul fikih dan olmu-ilmu lainnya.[3] hal ini membuat santri Madrasah Diniyah benar-benar mampu menguasai ilmu-ilmu Agama karena tidak terlalu dituntut untuk mengejar kurikulum yang sudah ditargetkan, malainkan belajar dengan cara penguasaan materi bukan mengejar target pokok bahasan yang telah ditentukan.
Sebenarnya Madrasah Diniyah lahir dari ketidak puasan sebagian tokoh terhadap sistem pendidikan Pesantren, sehingga mereka mencoba untuk membuat lembaga pendidikan yang sedikit lain dengan Pesantren. Melalui organisai-organisasi sosial kemasyarakatan mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan misalnya organisasi Muhammadiyah, Persatuan Muslim Indonesia (Permi), Diniyah, Thawalib, Pendidikan Islam Indonesia (PII), dan sejumlah sekolah-sekolah yang tidak berafiliasi kepada organisasi apapun.[4]
Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar juga melengkapinya dengan sekolah Agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah, sebagai salah satu sarana untuk memperdalam pengetahuan Agama, karena pada dasarnya pendidikan itu secara garis besarnya terdiri dari tiga bagian yaitu, pendidikan oleh dirinya sendiri, kegiatan pendidikan oleh lingkungan dan kegiatan oleh orang lain terhadap orang tertentu.[5] Demikian pula tempat pendidikan ada tiga yang pokok, yaitu di dalam rumah, di masyarakat, dan di sekolah.[6] Yah namun sebagian guru-guru ada yang tidak menyukai para muridnya untuk  merangkap belajar di Madrasah Diniyah, khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari para pemuka Agama.
Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh Agama di desa. Biasanya memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di Madrasah juga tidak dibayar apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam.
Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab, belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar Agama sore hari di,  lembaga pendidikan tersebut. Berbeda dengan pendidikan Agama pada sekolah formal seperti MI, MTs, MA dan PTAI yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Kementerian Agama dalam berbagai aspek misalnya kurikulum, akreditasi, supervisi dan ujian.[7] Dengan adanya lembaga pendidikan Agama seperti Madrasah Diniyah ini, tidak menjadikan banyak orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran Agama di sekolah. Berapapun jumlah jam pelajaran Agama di sekolah umum (sekolah dasar), tidak pernah dipersoalkan para siswa sudah mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah ini.
Para tokoh Agama menganggap pendidikan Diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga mereka menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sebuah sekolah. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk Madrasah Diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran Agama bagi para siswa sekolah umum, bahkan masa sekarang ini pendidikan Madrasah Diniyah sudah merambah ke berbagai golongan di masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, para tokoh Agama merintis bentuk lembaga pendidikan yang dianggap lebih sempurna, yaitu berupa Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama dan Madrasah Aliyah untuk Tingkat atas atau setara SMU.[8] Di pedesaan sejak akhir tahun 1960 an banyak berdiri Madrasah Ibtidaiyah. Para tokoh Agama dengan kekuatan yang dimiliki berusaha mendirikan jenis lembaga pendidikan tersebut, sehingga di mana-mana muncul Madrasah ibtidaiyah. Kebanyakan Madrasah Ibtidaiyah didirikan dan difasilitasi oleh masyarakat sendiri, atau berstatus swasta. Sudah barang tentu keadaan lembaga pendidikan Islam tersebut sangat sederhana, baik dari aspek ketersediaan fasilitas pendidikannya maupun juga ketenagaannya. Lembaga pendidikan ini sebenarnya adalah sebagai wujud perbaikan sistem pendidikan masyarakat yang memang masih bingung dengaan sestem pendidikan mana yang paling tepat, efektif dan efesien.
Dengan semakin maraknya pertumbuhan lembag-lembaga pendidikan Agama yang diakui oleh lembaga kepemerintahan dalam hal ini Kementerian Agama  (Departemen Agama. red), pertumbuhan lembaga pendidikan Agama yang bersifat tradisional sampai lembaga pendidikan Agama mulai kurang diperhatikan. Sungguh pun begitu, ada fenomena yang menarik dalam dunia pendidikan kita, khususnya berkaitan dengan pesantern dan Madrasah Diniah. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan Madrasah yang menganut yang menganut sistem pendidikan Nasional kian bertambah dan kian maju dengan pesatnyadari waktu ke waktu. Namun ada yang manarik pula bahwa pertumbuhan itu dibarengi dengan makin banyaknya Madrasah-Madrasah Diniyah, yaitu Madrasah yang keseluruhan mata pelajarannya adalah mata pelajaran Agama ataupun kalau ditambah dengan mata pelajaran umum, maka prosentasenya sangat sedikit. [9]  Dapat dipahami bahwa pertumbuhan Madrasah Diniyah, yang menurut survey pada tahun 1999, jumlahnya berkisar 22.000 buah mengekspresikan tuntutan aspirasi pendidikan Agama lebih banyak. Mereka umumnya bahwa pelajaran dan pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum atau Pesantren-Pesantren yang menganut kurikulum pendidikan Nasional belum cukup.[10]
Munculnya lembaga pendidikan Islam (Madrasah Diniyah) ini  disambut baik oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk lembaga pendidikan Islam ini dianggap ideal, karena melalui lembaga pendidikan tersebut mengajarkan ilmu Agama sementara ilmu umum sudah didapati di sekolah-sekolah umum. Memang model lembaga pendidikan seperti itu yang diinginkan oleh masyarakat, terutama kaum santri, sehingga kehadiran Madrasah Diniyah mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, maka keberadaan Madrasah-Madrasah Diniyah di beberapa lembaga pendidikan yang terintegrasai pada Pesantren menjadi benteng untuk mempertahankan tradisi Pesantren dalam mempertahankan tradisi/paradigmanya terhadap penguasaan “kitab kuning” sebagai ciri pokok Pesantren[11] yang mengintegrasikan pendidikan Madrasah Diniyah dalam satu wadah/sistem pendidikanya.
Memang bagi lembaga pendidikan Pesantren seyogyanya harus memulai melakukan penyadaran diri untuk turut mengikuti perkembangan sosial masyarakat yang akhir-akhir ini mulai cenderung untuk memilih pendidikan yang menuju ke arah modern. Dalam hal ini, untuk mempertahankan kekhususannya maka Madrasah-Madrasah Diniyah dijadikan sebagai lembaga pendidikan pendukung yang menjadi alternatif. Hanya saja hal tersebut memang memerlukan pengaturan waktu (time managerial), yang cermat.[12]
Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya, maka pendidikan Madrasah Diniyah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi mereka yang terpenting bernama Madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan dimaksud. Tidak sebagaimana Madrasah Diniyah yang hampir semuanya gratis, sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai operasional Madrasah dengan membayar uang syari’ah (SPP).[13]
Namun ada sesuatu yang memilukan, dengan lahirnya sistem pendidikan Agama Madrasah Ibtidaiyah, sebagian masasyarakat tidak selalu memilih lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah bagi anak-anak mereka. Masih banyak anak-anak santri yang masuk di sekolah dasar. Dengan hilangnya Madrasah Diniyah ini, maka para siswa SD tidak lagi bisa menambah pelajaran Agama di sore hari sebagaimana yang dulu-dulu. Anak-anak Sekolah Dasar, akhirnya mencukupkan pelajaran Agama yang diberikan di sekolah mereka masing-masing.
Akhir-akhir ini, sekalipun status Madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya bahwa kualitas Madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran Agama, maka jelas Madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, guru, buku, sarana dan prasarana lainnya dipenuhi, sedangkan Madrasah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya sangatlah tidak tepat dibandingkan hasilnya membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil.
Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola Madrasah juga ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut mengatakan bahwa Madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah. Akibatnya, citra Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah, tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak mengurangi semangat masyarakat mempercayai Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dianggap lebih baik dan mencukupi.
Akhir-akhir ini, Madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniyah, rupanya belum mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan yang dialami oleh sekolah umum.
Dulu, Madrasah Diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri Madrasah Diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi Agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah. Wallahu a’lam.

2.      Madrasah Diniyah Sebagai Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi pembentukan nilai-nilai dan karakter manusia  (habitual formation), pemerintah dengan fasilitas sekolah meneruskan nilai-nilai dan karakter yang dibangun di lingkungan keluarga sebagai pendidikan kedua, dan dilanjutkan dengan kehidupan di masyarakat yang juga bertanggung jawab dalam pembentukan moral anak. Ketiga lembaga yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara sering disebut Tricentra Pendidikan.[14] Namun demikian, aktualisasi pemeransertaan, terutama antara sekolah dengan masyarakat tersebut masih sangat variatif antar daerah dan antar satuan-satuan pendidikan. Keberagaman tersebut terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan pendidikan yang selama ini diberlakukan, yang kemudian mempengaruhi perilaku birokratnya.
Pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pendidikan, direncanakan dengan pendekatan mechanistic planning model atau engineering model yang memposisikan masyarakat sebagai obyek dari sebuah blue print perubahan yang berasal dari atas.[15] Dengan paradigma ini, maka pemeransertaan masyarakat identik dengan memaksa masyarakat untuk mengerti dan mengikuti kemauan birokrat pendidikan dan membantu keberhasilan implementasi kemauan tersebut. Pola pendekatan ini makin diperparah oleh masih melekatnya budaya feodal yaitu sikap paternalistik dan hubungan patron klien. Dengan sikap paternalistik, hubungan antara birokrat dan masyarakat diposisikan sebagai hubungan vertikal dari atas, sedang pola hubungan patron klien memposisikan sebagai hubungan bapak-anak. Ada keniscayaan bagi anak untuk menerima dan menghormati setiap keputusan yang dikatakan oleh bapak yang akan selalu bersikap menggurui dan mengendalikan anak.
Paradigma berikutnya adalah yang menyangkut pemahaman tentang partisipasi itu sendiri, yang sesungguhnya merupakan akibat logis dari paradigma yang pertama. Paradigma demikian memposisikan masyarakat atau institusi kemasyarakatan sebagai subordinasi dari birokrasi pemerintah yang hanya menjadi penerima pasif program dan berpartisipasi sesuai dengan  “ kapling “ yang disediakan oleh pemerintah.
Terlepas dari paradigma-paradigma di atas, pendidikan dengan berbasis pada masyarakat adalah proses human action planning model yaitu model yang menekankan pada upaya untuk mensistematisasikan aspirasi pembangunan yang ada dalam masyarakat dan menyusunnya menjadi sebuah dokumen perencanaan atau kebijakan. Konsekuensinya adalah keputusan tentang pembangunan pendidikan adalah hasil kesepakatan bersama antara birokrasi dan masyarakat. Proses pembangunan pun seharusnya menerapkan prinsip people-centered development.[16]
Partisipasi ditafsirkan sebagai kerja sama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai dan budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program. Pendidikan harus berlangsung dari, oleh dan bersama masyarakat.[17] Pendidikan dari masyarakat artinya memberikan jawaban terhadap kebutuhan (needs) masyarakat, oleh masyarakat berarti masyarakat bukan obyek pendidikan, tetapi berpartisipasi aktif dimana masyarakat mempunyai peranan dalam setiap langkah program pendidikannya, prinsip bersama masyarakat berarti, masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat, karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Inilah yang sekarang sering disebut sebagai pendidikan berbasis masyarakat (community- based education).
Pengertian tentang berbasis dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa apabila sesuatu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikan mengimplikasikan adanya pengendalian secara penuh terhadap pengambilan keputusan. Kepemilikan penuh berarti bahwa masyarakat memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan, kurikulum, standar dan ujian, guru dan kualifikasinya persyaratan siswa dan sebagainya.[18]
Pendidikan berbasis masyarakat menekankan pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan masalah oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di masyarakat. Watson (1991) sebagaimana dikutip oleh Umberto Sihombing  dalam makalahnya yang berjudul “Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat“  mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga (3) elemen yaitu :
1.       Mementingkan warga belajar sebagai dasar untuk mengembangkan program belajar dan senantiasa memperhatikan kebutuhan belajar masyarakat,  karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan.
2.       Program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat yaitu konservatif, liberal dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada dan partisipasi dalam setiap kegiatan.
3.       Pembanguan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program itu dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kesatuan yang lebih besar. [19]
Selanjutnya Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah  (school -based education ), antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkatnya relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung warga belajar, waktunnya belajar fleksibel, menggunakan pendekatan andragogi, biasanya tidak mengutamakan ijazah. Sementara kurikulum pendidikan berbasis sekolah tergantung pada pokok bahasan, urutan pelajarannya sudah diatur, waktu belajarnya tidak fleksibel, menggunakan terminologi paedagogis  dan mengutamakan ijazah.[20]
Dari sini jelas terlihat bahwa sebenarnya Madrasah Diniyah sebagai pendidikan berbasis masyarakat bukanlah hal yang baru untuk bangsa Indonesia. Model pendidikan ini sudah ada bahkan jauh sejak sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja selama ini menganggap hal itu biasa walaupun lembaga pendidikan itu sudah tumbuh dan berkembang lama di masyarakat. Munculnya Madrasah Diniyah dan Pesantren biasanya dimotori oleh masyarakat setempat yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan dan Agama.
Kini dalam dunia pendidikan yang kian demokratis, manajemen pendidikan yang efisien dan efektif memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Karena jika tidak demikian, maka lembaga pendidikan akan terasing dari pengabdiannya bagi kebutuhan masyarakat nyata. Sistem pendidikan Pesantren, Madrasah Diniyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari pendidikan indigenous yaitu pendidikan yang lahir dari kebutuhan dan untuk masyarakat, dimana lembaga itu hidup. Tidak mengherankan pendidikan modern oleh Paulo Freire dikatakan sebagai lembaga-lembaga tirani yang mematikan inisiatif karena antara lain hilangnya partisipasi masyarakat di dalam pengelolaannya.
3.      Manajeman dan Model Pendidikan Madrasah Diniyah
a. Urgensi Managemen Pendidikan Madrasah Diniyah
Meskipun Madrasah Diniyah bukanlah lembaga pendidikan formal yang mengikuti kurikulum Nasional yang telah ditetapkan Oleh Dinas Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama, namun itu tidak berarti bahwa dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak memerlukan manageman, manageman dibutuhkan oleh seluruh organisasi, karena tanpa managemen semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan oeranisasi akan lebih sulit mencapai kesempurnaan.
Pada hakikatnya tujuan didirikannya lembaga pendidikan Madrasah Diniyah adalah untuk memberikan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri Madrasah Diniyah. Eksistensi Madrasah Diniyah sangat dibutuhkan ketika lulusan Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal (sistem kurkulum Nasional) ternyata kurang mumpuni dalam penguasaan ilmu Agama. Dengan kenyataan itu, maka keberadaan Madrasah Diniyah menjadi sangat penting, sebagai penopang dan pendukung pendidikan formal yang ada.[21] Karenanya tidak berlebihan bila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di Madrasah Diniyah perlu dimanaj dengan sebaik-baiknya.
Ada tiga alasan utama diperlukannya manageman pendidikan untuk Madrasah Diniyah yaitu:
1)      Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Madrasah Diniyah, yakni memberikan pembekalan ilmu-ilmu Agama yang cukup kepada para santri, dalam upaya mempersiapkan lahirnya santri-santri yang matangdalam penguasaan ilmu-ilmu Agama. Kebutuhan terhadap manageman untuk Madrasah Diniyah ini terasa semakin mendesak, mengingat posisinya sebagai lembaga pendidikan pendukung bagi sistem pendidikan formal yang dilaksanakan Pesantren.
2)      Untuk menjaga keseimbangan sekaligus memfokuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan yang terjadi dalam Madrasah Diniyah.
3)      Untuk mencapai efesiensi dan efektifitas, bagaimanapun setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan menafikan unsur-unsur manageman, maka kegiatan itu tidak akan efektif dan efesien.[22]
b. Aplikasi Manageman Waktu di Madrasah Diniyah
Meskipun Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang mempunyai waktu yang cukup representatif untuk penyampaian materi-materi Agama, namun sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga pendidikan lain, Madrasah Diniyahpun perlu pengaturan waktu, terutama untuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakannya.
Pada prinsipnya beberapa tahapan yang dapat ditempuh oleh Madrasah Diniyah dalam penerapan manageman waktu misalnya:
1)      Mencermati dan menjabarkan kalender pendidikan, sampai ditemukan hari-hari efektif dan dan tidak efektif sesuai dengan tipe Madrasah Diniyah Tersebut.
2)      Dengan jumlah waktu efektif dan tidak efektif, dapat ditentukan dasar penyusunan program dan rensan belajar mengajar di Madrasah Diniyah.
3)      Dengan rencana program tersebut, selanjutnya dibuat rancangan waktu pendidikan Madrasah Diniyah yang komperehensif yang menyangkut seluruh aspek kegiatan.
4)      Kegiatan non-pendidikan dapat dilakukan di luar jam efektif Madrasah Diniyah.[23]
c. Model Pendidikan Madrasah Diniyah.
Peran vital Madrasah Diniyah bagi masyrakat haruslah tetap dijaga sampai kapanpun, hal tersebut dapat diperoleh jika model pendidikannya dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah dengan mengintergasikan Madrasah Diniyah ini kedalam lembaga pendidikan pesantren atau lembaga pendidikan formal seperti MIN, MTs, dan MA.
Ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk mewujudkan model pendidikan Madrasah Diniyah yang ideal antara lain:
1)      Integralisasi pendidikan Madrasah Diniyah dengan sistem pendidikan formal pondok pesantren
2)      Penerapan manageman pendidikan secara baik dan benar
3)      Sistem pembelajaran dilaksanakan harus dengan mengacu pada kurikulum.
4)      Melengkapi Madrasah Diniyah dengan media pendidikan yang sesuai.[24]

C.     KESIMPULAN
pendidikan Agama yang diperoleh anak di sekolah-sekolah umum masih kurang. Alokasi waktu untuk anak memperoleh stimulus Agama kurang lebih hanya 2x 40 menit/minggu. Walaupun di sekolah terdapat kegiatan ekstra di bidang keagamaan, siswa yang berminat hanya sedikit. Inovasi dibentuk, semangat usaha dari perorangan maupun organisasi menggagas adanya Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah merupakan lembaga informal, yang waktu pelaksanaan kegiatannya di luar jam sekolah. Siswanya tidak dibatasi dari sekolah manapun. Mengingat masa usia sekolah (usia 5-13 tahun) merupakan masa penting anak dalam perkembangan, maka didirikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Departemen Agama sebagai fasilitator lembaga.
Melihat fenomena masyarakat yang tertera di atas, tampak jelas bahwa masyarakat membutuhkan stimulus Agama yang lebih, terutama pada anak-anak. Oleh karenanya tercipta inovasi pendidikan informal Madrasah Diniyah Awaliyah. Dengan ini, peneliti mencoba untuk meneliti adakah pengaruh pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah terhadap sikap beragama siswa.





Amin Drs. H. Headri, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah, Jakarta: Diva Pustaka, 2004
Fajar A. Malik, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999, cet. II
Jalal Fasli dan Supriyadi Dedi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta, Adi Cita, 2001.
Ma’arif Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007
Muhaimin dan Mujib Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Oprasionalnya, Bandung  ;Trigenda Raya ,1993
Raharjo Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985
SM Ismail, Huda Nurul, Khalik Abdul, Paradigma Pendidikan Islam,Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2001
Sutrisno Loekman,  Menuju  Masyarakat  Partisipatif, Yogyakarta; Kanisius, 1995
Tafsir Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya: 1991
Tillar H.A.R., Pendidikan,Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,Setrategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999
Tjokrowinoto Moeljarto, Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,  Yogyakarta; Tiara Wacana, 1995.


[1] Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007), h. xvii
[2]Headri Amin, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), hal. 14
[3]Ibid. Hal. 39
[4] Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. xi
[5] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya: 1991), hal. 26
[6] Ismail SM, Nurul Huda, Abdul Khalik, Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
[7] Dr. Ahmad Tafsir, op.cit, hal. 15
[8] Ibid, hal. 12
[9] Drs. H. Amin Headari, op.cit. hal. 17
[10] A. Malik Fajar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1999), cet. II, hal.29-30
[11] Drs. H. Amin Headri, Op.cit. hal. 18
[12] Ibid.
[13] Ibid. Hal. 18
[14]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Oprasionalnya, ( Bandung  ;Trigenda Raya ,1993 ) hal.287.
[15]Loekman  Sutrisno,  Menuju  Masyarakat  Partisipatif,  (Yogyakarta; Kanisius, 1995),  hal. 78.
[16]Moeljarto Tjokrowinoto, Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,  (Yogyakarta ; Tiara Wacana,1995 ) hal. 80
[17]H.A.R. Tillar, Pendidikan,Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,Setrategi Reformasi Pendidikan Nasional, ( Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999 ) hal. 80
[18]Fasli Jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta, Adi Cita, 2001 ) hal. 176.
[19]Ibid.,hal 18
[20]Ibid.,hal187

[21] Drs. H. Amin Headari, op.cit. hal. 91
[22] Ibid, hal. 92
[23] Ibid, hal. 119
[24] Ibid. Hal 102

0 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Untuk Perbaikan Blog Ini



PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI
Oleh: Muhsinun

I. PENDAHULUAN
Bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari hari ke hari semakin berkembang, akhir-akhir ini kita melihat banyak generasi Islam yang sudah tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan. Mereka kadang meremehkan dengan mengatakan, ”Di mana tokoh Islam”? Hal ini terjadi karena mereka kurang mengenal terhadap beberapa tokoh Islam yang berhasil mencetak generasi yang tidak kalah hebat dengan tokoh pendidikan non-Muslim dalam mencetak generasi berakhlak al-karimah, disiplin, terhormat, serta bermanfaat untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa.
Dengan berpandangan pada beberapa hal tersebut, mengenal para tokoh pendidikan Islam merupakan salah satu langkah yang seharusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan harus menjadi kebanggaan untuk selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta mensosialisasikan dikalangan umum. Dengan begitu generasi penerus Islam bisa berbangga hati bahwa mereka mempuyai tokoh yang pantas untuk dijunjung tinggi sebagai pelita penerang yang melahirkan konsep, teori, dan fatwa yang dijadiakn referensi generasi berikutnya dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini, pembahasan makalah ini di dalamnya akan membahas siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang  mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs (latihan pribadi umum) dan Riyadhatus Shibyan (latihan pekerti anak-anak).
 



Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini dunia pendidikan kurang memperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah di muka bumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita, yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “Al-Ghazali”.

II. PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem.[2]  Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.[3]
Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanya di bidang tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.[5] Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi dari pada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[6]
B. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[7] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
a. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan dengan baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari pendidikan. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Akan tetapi, di samping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam dengan mengutamakan pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka tidak salah bila sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itu yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di akhirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliau termasuk tujuan pendidikan, mengingat kandungan nilai serta kenikmatan yang diperoleh manusia darinya.[8]
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak dengan titik penekanan pada perolehan keutamaan dan takarrub (mendekatkan diri) kepada Allah[9] bukan hanya untuk mencapai kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi. Rumusan tujuan pendidikan Al-Ghazali didasarkan pada firman Allah SWT. ”Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepadaku” (QS. Al-Dzariyat:56).
Dari hasil studi pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan adalah: pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah; dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena itu, ia bercita- cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran pendidikan yang merupakan tujuan akhir dan maksud dari tujuan itu.[10] Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur ilmu dan menguasai ilmu adalah bagian dari tujuan pendidikan.[11]
Mengingat pendidikan itu penting bagi manusia, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1.      Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
2.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3.      Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4.      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5.      Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[12]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mencapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam beberapa sudut pandang.
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a)      Ilmu tercela, yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan keberadaan Allah SWT.
b)      Ilmu terpuji, misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c)      Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a)      Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang Muslim, yaitu ilmu agama.
b)      Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, ilmu pertanian dan industri.[13]
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a)      Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
b)      Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah.[14]
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.[15] Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[16] Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1). Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2). Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Konsep Al Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak  Anak

Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak pada anak-anak ini diterangkan dalam kitab Ihya Ulumuddin juz III halaman 69-72. Pertama-tama Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah  swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tuanya, gurunya serta pendidikannyapun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya.[17]
Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali  yang halal saja.[18] Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (tamyiz) mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk (asosiasi nilai).
Sedangkan metode yang digunakan sama dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Namun titik berat pada kedua metode itu berbeda. Pada orang dewasa membiasakan diri merupakan metode dasar mencapai akhlak yang baik dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar ketimbang pergaulan tetapi dalam kasus anak-anak sebaliknya, melindungi mereka dari pergaulan buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk berakhlak yang baik. Hal ini karena sebagian besar pengajaran untuk mereka adalah peniruan. Pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada kanak-kanak. Karena akal mereka belum bisa memikirkan hal seperti itu. Hadiah dan hukuman dari orang tua dan pujian serta cercaan dari orang lainlah yang harus dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka jadi baik dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk.[19] 
Adapun pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1.    Akhlak Terhadap Allah
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan.[20]
Al-Ghazali sangat menganjurkan sejak dini orang tua membiasakan anak-anaknya untuk beribadah, seperti shalat, berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar (motivasi eksternal) tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya (motivasi internal) dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan pada waktu dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan.[21]
Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari’at yang diperlukan.
2.    Akhlak Terhadap Orang Tua
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua daripadanya. Dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau dihadapan mereka.[22] Setelah menekankan pentingnya menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Al-Ghazali juga menjelaskan perlunya menerapkan hukuman dan hadiah, mengenai hal ini Al-Ghazali berkata:
“Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga  ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujukan padanya.[23]
Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk.[24]
3.   Akhlak K­epada Diri Sendiri
a. Adab Makan                            
Menurut Al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan pandangan ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan dengan baik, tidak memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan, hendaklah ia kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya lauk sebagai suatu keharusan.[25]
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah dengan contoh, latihan dan pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping itu, Al-Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan sekedar teguran dan  pujian, sebagaimana dikatakannya:
“Hendaklah diajarkan kepadanya bahwa makan terlalu banyak adalah suatu perbuatan yang tidak baik dan hanya bagi hewan-hewan. Dan hendaklah ditujukan kecaman dihadapannya kepada anak yang banyak makannya. Dan sebaliknya, diberikan pujian kepada anak yang sopan dan sedikit makannya. Dan hendaklah memuaskan diri dengan makanan apa saja yang tersedia baginya betapapun sederhananya.”[26]

b. Adab Berpakaian                                             
Al-Ghazali menegaskan bahwa anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih saja, bukan yang berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan perempuan (banci) dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakannya si ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan, bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan.[27]
Dengan demikian jelaslah, bahwa orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar kesenangan, kemewahan dan pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya kurang memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu, Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu:
“Hendaklah anak-anak sejak kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya. Dan agar ditanamkan  rasa takut dari keduanya melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada emas dan perak lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang dewasa.”[28]
c. Kesederhanaan Tidur
Al-Ghazali menegaskan sebaiknya anak-anak dilarang untuk tidur pada waktu siang, karena menyebabkan kemalasan. Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari. Namun sebaiknya jangan dibiasakan tidur di atas kasur yang empuk-empuk, supaya tubuhnya menjadi kuat.[29] Kebiasaan tidur siang pada anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi anak-anak adalah untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan digunakan untuk belajar atau berlatih kerja.
d. Sabar dan Berani          
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak berteriak-teriak dan tidak meminta pertolongan kepada orang lain, agar diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang jantan dan berani, sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.[30] Jadi anak-anak dididik untuk sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan pemberani.
Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang baik, Al-Ghazali juga menganjurkan agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam, antara lain:
e. Adab Berjalan
Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua tangan kebawah, tetapi diletakkan kedua tangan itu pada dada.[31]
f.  Larangan Bersumpah
Al-Ghazali berkata bahwa anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar maupun bohong.[32] Membiasakan anak-anak untuk tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak mudah bersumpah dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut.
g. Larangan Mencuri
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak haruslah diajarkan untuk tidak sekali-kali mengambil barang yang bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari keluarga yang terhormat, diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya mengambil sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi ssesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat yang menghinakan dan tidak terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya.[33]
Dengan demikian Al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima, apalagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya (mencuri). Hal iini apabila dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang suka membantu dan menolong orang lain.
g. Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi
Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak harus dijaga agar tidak melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat.[34]
Adanya larangan untuk melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara sembunyi-sembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya.
h. larangan membuka aurat
Menurut al-Ghazali, anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain.[35]
4. Akhlak Kepada Orang Lain
Al-Ghazali memberikan beberapa nasihat agar para orang tua membiasakan anaknya untuk berbuat hal-hal yang patut dan sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku, sebaliknya menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat Al-Ghazali itu antara lain:
a.    Adab Duduk
Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki yang sebelahnya lagi. Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah dagu (topang dagu) dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang demikian itu menandakan kemalasan.[36] Maksud dari nasihat Al-Ghazali tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga menghindarkan sikap malas pada anak-anak.
b.    Adab Duduk Bersama Orang Lain
Al-Ghazali menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak meludah pada tempat yang bukan semestinya, tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang lain.[37] Dengan demikian jelaslah bahwa di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, Al-Ghazali juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan. Selain itu, Al-Ghazali juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya:
“Dan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekedar memberikan jawaban secukupnya. Dan diajarkan kepada mereka agar pandai-p[andai mendengarkan orang lain apabila ia berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk, setelah itu duduk dengan sopan dihadapannya.”[38]
c.    Adab Berbicara
Al-Ghazali berkata: anak-anak dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat demikian karena tidak dapat dibantah bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat.[39]
d.    Tawadhu’
Menurut Al-Ghazali seorang anak hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, tentang makanan, pakaian atau peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu’ dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia, dan berkata lemah lembut.[40]
Dengan demikian jelaslah bahwa segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Kemudian tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah kata hati (kerohanian yang luhur) pada anak pada masa dewasanya.[41]
Jadi pembinaan pribadi anak adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang disatupadukan, sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam.

D. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saatsekarang ini  masih bisa kita simak.[42] 
III. PENUTUP
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan pendidikan Islam dalam pandangan Al-Ghazali hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun tujuan utama dari penggunaan metode dalam pendidikan harus diselaraskan dengan tingkat usia, kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari nilai manfaat.
Tentang pendidik, Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik merupakan contoh bagi anak didiknya.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Akhyar Thawil Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993
Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali (Terj. Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV,
............., Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Dasoeki,Thawil Akhyar Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Jalaluddin & Said Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1994.
Nasution Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Nata Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Qadir C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Rusn Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Sulaiman Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991.






[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3]Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Ibid, hlm. 181.
[6] arun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.

[7]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[8] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997), hal.159.
[9]Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, (Jakarta: Guna Aksara. 1986), hal. 19.
[10]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994), hal. 102.
[11]Ibid

[12]Ibid, hlm. 94.
[13]Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara,1991. hlm. 56

[14]Ibid
[15]Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[16] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
[17]Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali (Terj. Ismail Ya’kub), Cv. Faisan, Jakarta, 1986, Jilid IV, hal. 193
[18]Ibid
[19]M. Abul Quasem, Op.Cit.., hal. 102-103
[20]Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 197
[21]Zaenuddin, Op.Cit, hal. 166
[22]Al-Ghazali, Op.Cit, hal. 19
[23]Ibid, hal. 195
[24]Ibid
[25]Ibid, hal. 194
[26]Ibid
[27]Ibid
[28]Ibid, hal. 196
[29]Ibid, hal. 195-196
[30]Ibid, hal. 197
[31]Al-Ghazali , Op. Cit, hal. 196
[32]Ibid
[33]Ibid
[34]Ibid
[35]Ibid.
[36]Ibid.
[37]Ibid
[38]Ibid
[39]Ibid
[40]Ibid
[41]Ibid, hal. 197-198
[42]Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993, hlm. 55-62.

2 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Untuk Perbaikan Blog Ini

Get Updates in your Email
Complete the form below, and we'll send you our best of articles.

Deliver via FeedBurner

Text Widget

Recent News

Contact

Published By Pro Templates Lab | Powered By Blogger
TOP